Friday, December 21, 2007

ADA APA DENGAN NABI BARU ?......


Tamim Asyhar AM

"Mas aku takut sekali kawan-kawanku disini banyak yang menjadi pengikut aliran baru dan aku juga sering diteror, bagaimana aku harus bersikap?" itulah bunyi sms yang diterima kawanku beberapa hari yang lalu dari salah seorang kawannya yang tinggal dijakarta. akhir akhir ini memang banyak sekali bermunculan aliran baru, belum kering dalam ingatan kita saat lia eden muncul dan mengaku sebagai malaikat jibril namun sekarang lagi lagi kita dikejutkan dengan hadirnya Al Qiyadah Al Islamiyah yang muncul bersama dengan nabi barunya.
sebenarnya Fenomena aliran atau nabi baru itu bukanlah barang baru. Alkisah, sejak zaman Muhammad telah ada yang mengaku menjadi nabi baru. Musailamah al-Kadzab adalah yang pertama terang-terangan mendeklarasikan sebagai nabi baru. Ia berkuasa di daerah Yamamah, kini salah satu distrik di Arab Saudi. Ia menikahi seorang wanita yang juga mengaku nabi.

Musailamah dikenal sebagi orang yang sangat berani. Ia mengirim surat kepada Muhammad berisi ajakan untuk membagi kekuasaan bumi menjadi dua. Satu untuk Muhammad dan satunya untuk dia, Muhammad sendiri tak mengirim pasukan untuk menyerang Musailamah. Ia memilih mengungkapkan kedustaan Musailamah. Baru pada zaman khalifah Abu Bakar pasukan dikirim untuk memerangi Musailamah.

Nabi yang lain muncul di Pakistan. Mirza Ghulam Ahmad mendirikan Ahmadiyah pada 1889 dan mengaku sebagai nabi. Ahmadiyah masuk ke Indonesia sejak 1924. Pada masa awal perkembangan Islam di Jawa, muncul ajaran Manunggaling Kawula Gusti, yang diperkenalkan Syekh Siti Jenar pada abad ke-13. Di sini Syekh Siti Jenar tak bicara tentang kenabian, tapi lebih tinggi lagi, yaitu tentang konsep wahdatul wujud, menyatunya Tuhan ke dalam diri.

Sekarang nabi made in indonesia mulai muncul, adalah Al Mushaddieq nabi baru yang berasal dari Bogor Jawa barat. perawakanya yang sedang, berkumis dan selalu memakai kopyah hitam dikepalanya sama sekali tidak sesuai dengan gambaran orang pada umumnya bahwa seorang nabi harus pakai sorban, berjamban, dan memakai jubah. namun dibalik kesederhanaan itu mushaddieq telah membuat resah berjuta juta kaum muslim indonesia, tidak tanggung tanggung wakil presiden republik idonesia pun menghimbaau agar ulama indonesia introspeksi diri dengan melakukan evaluasi terhadap metode dakwah yang selama ini dilakukan.

yang membedakan mushaddieq dengan para pendahulunya adalah dia lebih memilih kaum muda sebagai sasararan dakwahnya, dan terbukti siasat itu ternyata ampuh, puluhan anak muda bahkan aktifis mahasiswa tertarik untuk mengikuti ajarannya. mereka kemudian bersaksi bahwa Al mushaddieq Al maulud rasulullah.

Mantan Rektor Universitas Islam Negeri Jakarta Azyumardi Azra menyatakan, lakunya ajaran sesat di kalangan anak muda itu lantaran masyarakat kini mengalami kondisi yang serba tidak menentu. Anak-anak muda tersebut berusaha mencari seorang pemimpin yang dapat dipercaya dan dapat menerima krisis identitas mereka. ”Dalam sosiologi keagamaan ada yang disebut harapan eskatologis. Dalam harapan ini anak muda percaya bahwa pemimpin mereka adalah juru penyelamat, Imam Mahdi, atau apa pun yang akan menyelamatkan mereka,” ujarnya.

Harapan itu terbit karena pemahaman agama mereka belum mempunyai dasar yang kuat. Akibatnya, kata Azyumardi, mereka mengalami misleading dalam pencarian. Faktor berikutnya yang turut berperan: adanya kecenderungan pembiaran umat oleh para pemuka agama sehingga dimanfaatkan penyebar aliran baru. Di sinilah kepiawaian menjual ajaran itu muncul. Mereka dengan intens mendatangi dan menawaremudian kan bimbingan.

Selain itu, kondisi perekonomian Negara yang tidak kunjung bangkit dari keterpurukan menyebabkan banyak kalangan merasa frustasi, terutama kalangan muda yang merasa sulit mencari pekerjaan guna menyambung hidup mereka, sehingga ketika datang sesuatu yang baru, mereka mulai “mencoba-coba” dan pada akhirnya mereka terjebak dalam kukungan ideologi yang mengikat.

Menurut hasil investigasi Majelis Ulama Idonesia (MUI) banyak diantara pengikut Al qiyadah adalah pemuda pemuda pengangguran bahkan salah satu dari pemimpin Al qiyadah yang membawahi wilayah yogjakarta adalah mantan preman yang kemudian di sadarkan oleh Mushaddieq melalui “ritual ritual sucinya”. Karena aliran ini juga menggelar ritual mohon pengampunan. Kepada setiap pengikut ditawarkan bisa langsung berhadapan dengan rasul untuk pengakuan dosa. Bertemu rasul dan ada kepastian dosa diampuni ini telah membuat hati umatnya benar-benar plong. Dan dengan sejumlah nilai jual itu—boleh tidak salat, puasa, zakat, haji, dan diampuni langsung oleh rasul—Al-Qiyadah meraup ribuan pendukung.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa sesat berdasarkan pertimbangan dari kejaksaan dan kepolisian Republik Indonesia, pro-kontra kemudian bermunculan, yang mendukung fatwa tersebut bergerak cepat menyisir wilayah wilayah yang dicurigai sebagai basis Al Qiyadah, upaya main hakim sendiri inilah yang kemudian banyak dikecam oleh banyak kalangan.

Apakah dengan demikian mereka layak dihakimi? Jika dikaitkan dengan hukum di Indonesia tentang penodaan terhadap suatu agama, maka aliran ini akan terkena hukuman. Namun Rektor Universitas Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Komaruddin Hidayat, mengkritik MUI yang terlalu peka terhadap urusan akidah. Padahal, jelas keyakinan adalah masalah privat yang kebenarannya diyakini oleh pribadi yang bersangkutan. ”Sedangkan kalau ada sabotase rel kereta api, mereka diam saja,” komentarnya melalui banyak

sebagian pihak malah mencurigai keterlibatan intelejen asing ketika "membaca" fenomena aliran baru akhir akhir ini dalam rangka memperlemah posisi indonesia di dunia internasional setidaknya hal inilah yang ter"gambar" dari komentarnya ketua Majelis Permusyawaran Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) Hidayat nur wahid "ada konspirasi dengan berbagai skenario untuk mengobok-obok ketenteraman umat beragama, khususnya kaum Muslimin dengan cara memunculkan berbagai paham sesat. Jika umat Islamnya repot mengurusi aliran sesat, itu artinya akan terpecah-belah dan tidak ada enerji untuk membangun. Dengan begitu, Indonesia akan terus-terusan mengutang, pasrah didikte pihak ketiga, dan berada di ketiak asing. Kalau umat Islam nggak kuat, itu kan yang diinginkannya" ujarnya.

Namun, apa sebenarnya yang ada dilubuk hati paling dalam nabi nabi baru itu hanya dialah yang tahu, yang jelas Mushaddieq telah Taubat dihadapan Ulama yang berdebat denganya. Dan akankah mushaddieq mushaddieq baru akan terus bermunculan. Wallahu a’lam.

[+/-] Selengkapnya...

WANITA ; Problematika kesetaraan gender


Tamim Asyhar AM[1]
Pendahuluan
Dalam kamus besar bahasa Indonesia, Wanita adalah perempuan dewasa, sedangkan perempuan adalah : orang (manusia) yang mempunyai vagina, dapat menstruasi, hamil, melahirkan anak dan menyusui. Selanjutnya saya akan memakai kata wanita. Wanita dengan segala kelembutannya mampu mengusung dirinya untuk selalu tampil menjadi penyeimbang irama alam semesta, terbukti bahwa tema wanita selalu mengemuka dalam syair lagu, sastra, seni lukis, tarian, pagelaran teater dan lainnya. Namun demikian tidak jarang dengan memanfaatkan kelembutannya wanita sering dijadikan obyek seksual, bahkan wanita tak ubahnya sebagai barang dagangan yang bisa dengan sesuka hati diperjual belikan, padahal diakui atau tidak tanpa wanita mata rantai kehidupan di dunia ini akan putus, sebab dari rahim wanitalah kehidupan manusia dimulai.

Kodrati wanita yang secara anatomis umumnya lebih lemah dibandingkan dengan pria harusnya diinsyafi, bagaimanapun juga antara pria dan wanita adalah berbeda, dan perbedaan itu bukanlah merupakan suatu ketidaksengajaan, bahkan dengan varian itu kehidupan didunia ini akan berjalan harmonis. Namun sejarah menginformasikan bahwa banyak sekali peradaban besar yang telah dibangun sebelum islam diturunkan oleh allah SWT kepada ummat manusia, memperlakukan wanita tidak sebagaimana mestinya, dunia mengenal Yunani, Ramawi, India, dan Cina, dunia juga mengenal agama agama seperti Yahudi, Nasrani, Budha dan sebagainya. Yunani kuno yang terkenal dengan pemikiran pemikiran filsafatnya tidak banyak membicarakan hak dan kewajiban wanita, wanita pada zaman itu laksana barang dagangan yang dengan mudah bisa diperjual belikan[2], dan dalam peradaban romawi keadaan wanita tidak lebih baik daripada yunani, pada masa ini wanita sepenuhnya berada dibawah kekuasaan ayahnya dan setelah kawin kekuasaan tersebut pindah ketangan suami, yang menyedihkan kekuasaan tersebut mencakup kewenangn menjual, mengusir, menganiaya dan membunuh[3]. Keadaan wanita pada peredaban Hindi dan Cina bahkan lebih parah, hak hidup seorang wanita yang bersuami akan berakhir ketika suaminya meninggal dunia. Dalam ajaran Yahudi, martabat wanita sama dengan pembantu, sang ayah berhak menjual anak wanitanya jika ia tidak mempunyai saudara laki laki. Ajaran mereka menganggap Wanita sebagai sumber laknat karena dialah yang menyebabkan adam terusir dari surga. Dan dalam pandangan sementara pemuka/pengamat Nasrani ditemukan bahwa wanita adalah senjata iblis untuk menggoda manusia dimuka bumi ini[4]
Berbedakah asal kejadian Wanita dan Pria? Sehingga wanita diposisikan sedemikian rendahnya, Apakah wanita diciptakan oleh tuhan kejahatan ataukah mereka merupakan salah satu najis (kotoran) akibat ulah setan? Benarkah yang digoda dan diperalat oleh setan hanya wanita dan benarkah mereka yang menjadi penyebab terusirnya manusia dari surga? Demikian sebagian pertanyaan yang dijawab dengan pembenaran oleh sementara pihak sehingga menimbulkan pandangan atau keyakinan yang tersebar pada masa pra-Islam dan yang sedikit atau banyak masih berbekas dalam pandangan beberapa masyarakat abad ke-20 ini Namun pandangan-pandangan tersebut secara tegas dibantah oleh Al-Qurân, antara lain melalui ayat pertama surah Al-Nisa'
يأيها الناس اتقوا ربكم الذى خلقكم من نفس واحدة وخلق منها زوجها وبث منهما رجالا كثيراونساء[5]
Beberapa pakar tafsir termasuk Muhammad abduh memahami kata nafs dalam arti jenis[6] bukan adam seperti yang kita jumpai dalam beberapa tafsir klasik
Demikian Al-Qurân menolak pandangan-pandangan yang membedakan (lelaki dan wanita) dengan menegaskan bahwa keduanya berasal dari satu jenis yang sama dan bahwa dari keduanya secara bersama-sama Tuhan mengembangbiakkan keturunannya baik yang lelaki maupun yang wanita.
Wanita pada masa Arab Jahiliyah
Kondisi sosial Masyarakat Arab (Makkah) pada masa Muhammad Saw. sebelum diangkat menjadi nabi, berada di ambang kemajuan yang pesat. Kala itu, Makkah adalah pusat lalu lintas perdagangan yang menghubungkan antara negri-negri di sekitarnya. Al-Quran menggambarkan kebiasaan Bani Quraisy yang mengadakan dua kali perjalanan, dalam Musim Panas ke Bashrah di Propensi Huran bagian Negri Syam dan ke Negri Yaman pada Musim Dingin.
لايلفهم قريش * الفهم رحلة الشتآء والصيف………[7]
Daya tarik lain dari Kota Mekkah adalah Ka‘bah yang menjadi tujuan ibadah haji tiap tahun. Setiap klan-klan (kabilah) Bangsa Arab memiliki berhala sendiri yang dipuja dan disembah. Tidak kurang dari 300 buah berhala mengelilingi Ka‘bah, baik yang kecil, sedang dan besar, sesuai dengan martabat pemiliknya. Letak geografis yang strategis, dan keberadaan Ka‘bah membuat Makkah menjadi kota metropolis dan kosmopolit pada zamannya. Tidak kesulitan bagi Masyarakat Arab yang hidup di kota mengais rezki baik dengan membuka kios-kios di sekitar Ka‘bah atau berniaga ke negri-negri tetangga.
Kemudian dari struktur sosial, struktur Masyarakat Arab bisa dikatakan unik. Masyarakat Arab terdiri dari pluralitas klan-klan (kabilah) yang terikat oleh darah dan kerabat. Setiap klan dipimpin seorang yang dipertuakan, biasanya dipanggil syekh. Bagi Masyarakat Arab, syekh memiliki kedudukan yang strategis, ia adalah raja, hakim, pengatur dana, pemimpin meliter dan tugas-tugas lainnya. Keterikatan klan-klan Masyarakat Mekkah pada sukunya secara fanatis tentu rawan konflik. Tidak jarang terjadi perang antara suku-suku dalam masyarakat ini. Kehidupan padang pasir yang keras dan ganas, suasana perdagangan yang penuh kompetisi yang ketat, melahirkan sistem sosial yang cacat, karena tidak diimbangi tatanan hukum yang kuat. Klan-klan Masyarakat Arab cenderung memikirkan kepentingan kelompok sendiri dari pada melihat kepentingan kelompok lain.
Pada waktu itu laki-laki adalah segala-galanya. Mempunyai kebebasan dan hak yang tidak kenal batas. Karena laki laki punya otot kuat sehingga bisa menjadi andalan dalam kelompoknya, sebaliknya wanita dalam posisi terjepit, mereka tidak memiliki hak-hak sama sekali. Jangankan hak sosial, jaminan hidup saja sulit, karena anak-anak wanita tidak diharapkan kehadirannya. Yang lebih menyedihkan terdapat tradisi di sebagian Masyarakat Arab Jahiliyah, menanam anak wanita hidup-hiudp (wa'du al-banât).
واذاالموءدة سئلت * بأى ذنب قتلت[8]
Dalam keluarga, anak wanita tidak berhak menerima warisan, bahkan, mereka diperlakukan seperti harta benda yang bisa diwariskan. Allah berfirman,
يآيها الذين آمنو لايحل لكم أن ترثو النساء كرها[9]
Dalam menafsirkan ayat ini, Muhammad ‘Abduh menulis:
"Dahulu Orang Arab (Jahiliyah) menghina wanita dan menghitungnya sebagai harta benda. Jika salah seorang di antara mereka meninggal, maka, sang ahli waris berhak mendapat warisan istrinya, seperti mereka mendapatkan warisan harta, hingga Allah mengharamkan perbuatan ini, karena bagian dari tradisi jahiliyah. Kata "kurh" (paksaan) dalam ayat di atas bukan "qayd" (pengikat: syarat), namun hanya diskripsi (penjelasan) dari tradisi yang mereka lakukan…[10]
Jika seseorang meninggal, maka anak tertua secara otomatis menerima janda ayahnya.
ولاتنكحوا ما نكح آباؤكم من النساء الا ما قد سلف[11]
Wanita tidak berhak menentukan pasangan hidupnya, dan terkadang tidak menerima mahar saat nikah. Seorang wanita amoral boleh digauli banyak laki-laki, sampai ia hamil. Dan bayi yang lahir dimiliki oleh laki-laki yang mirip dengan bayinya.[12] Anak-anak yatim wanita yang berharta dinikahi secara sewenang-wenang agar bisa dinikmati hartanya.[13] Potret tradisi Masyarakat Arab Jahiliyah yang jelas-jelas dilarang Allah Swt dapat kita baca dalam Surat Al-Nisâ' dari ayat 19 sampai 22.
Kedudukan Wanita dalam islam
Salah satu tema utama sekaligus prinsip pokok dalam ajaran Islam adalah persamaan antara manusia, baik antara pria dan wanita maupun antar bangsa, suku dan keturunan. Perbedaan yang digarisbawahi dan yang kemudian meninggikan atau merendahkan seseorang hanyalah nilai pengabdian dan ketakwaannya kepada Tuhan Yang Mahaesa.
ياأيها الناس انا خلقناكم من ذكر وأنثى وجعلناكم شعوبا وقبآءل لتعارفوا ان أكرمكم عند الله أتقاكم ان الله عليم خبير[14]
Kedudukan wanita dalam pandangan ajaran Islam tidak sebagaimana diduga atau dipraktekkan sementara masyarakat. Ajaran Islam pada hakikatnya memberikan perhatian yang sangat besar serta kedudukan terhormat kepada wanita bahkan kata wanita dipakai nama surat dalam Al-Qurân yaitu surat An-Nisa' Lebih dari itu, Al-Qurân juga sudah menginformasikan bahwa tinggi rendahnya martabat seseorang dihadapan Allah tidak ditentukan oleh jenis kelamin, melainkan nilai pengabdian serta ketakwaannya.
Demikian pula Al-Qur'an memberikan pandangan optimistis terhadap kedudukan dan keberadaan wanita. Semua ayat yang membicarakan tentang Adam dan pasangannya, sampai keluar ke bumi, selalu menekankan kedua belah pihak dengan menggunakan kata ganti untuk dua orang (dlamir mutsanna), seperti kata huma, misalnya keduanya memanfaatkan fasilitas sorga[15], mendapat kualitas godaan yang sama dari setan, sama-sama memakan buah khuldi dan keduanya menerima akibat terbuang ke bumi, sama-sama memohon ampun dan sama-sama diampuni.Tuhan[16]. Setelah di bumi, antara satu dengan lainnya saling melengkapi, "mereka adalah pakaian bagimu dan kamu juga adalah pakaian bagi mereka"[17]. Pesan sejenis banyak sekali ditemukan dalam Al-Qurân. Artinya, pria dan wanita mempunyai derajat yang sama, terutama derajat spiritual[18], namun dalam perjalanannya wanita seringkali di nomor duakan, hal ini oleh sebagian kalangan dinilai karena wanita belum menjadi topik bahasan yang mendalam dalam wacana keislaman akan tetapi penilaian ini oleh sebagian kalangan yang lain ditepis, mereka beranggapan bahwa topik kewanitaan seringkali dikaji, namun ketika sebagian kajian mengakui hak wanita dalam kehidupan dan menjadikannya sebagai manusia seutuhnya sebagaimana kaum laki-laki, pada sisi lain muncul kajian serupa yang justru cenderung menjatuhkan harkat wanita.
Tapi yang jelas, dalam suatu perjalanan yang panjang, wanita berupaya untuk mencapai hak-haknya di hadapan masyarakat laki-laki. Kadangkala wanita memperoleh kemajuan yang pesat dalam perjuangan itu, tapi seringkali harus menghadapi perlawanan dan tantangan yang sangat keras serta kegetiran yang sangat menyakitkan.
Wanita dan kesetaraan gender
Kata gender berasal dari bahasa Inggris yang berarti "jenis kelamin". Namun kemudian dalam kamus populer kata gender diartikan sebagai perbedaan yang tampak antara laki-laki dan wanita dilihat dari segi nilai dan tingkah laku.
Di negara kita perjuangan kesetaraan gender dibuktikan dengan disahkannya Undang Undang politik pada sidang istimewa MPR untuk calon anggota legislatif, wanita telah mendapatkan quota sebanyak 30 % dari tiap tiap partai politik untuk menempati kursi di senayan. Akan tetapi kenyataannya tidak banyak calon yang terjaring dari kaum wanita, hal ini salah satunya disebabkan oleh karena kurangnya profesionalisme wanita atau bisa juga dikatan rendahnya pendidikan wanita indonesia yang secara tidak langsung menjadi dasar untuk bisa berperan aktif diluar rumah.
Akan tetapi dilain pihak, ribuan bahkan jutaan wanita indonesia dikabarkan telah menjadi TKW (Tenaga Kerja Wanita) baik yang legal maupun yang ilegal, dari sini bisa kita tarik kesimpulan bahwa sudah banyak wanita yang berkarir diluar rumah, akan tetapi kebanyakan dari mereka terbatas dengan pekerjaan sebagai pembantu rumah tangga karena minimnya skill yang mereka punya. Hal ini kurang lebih disebabkan oleh budaya kita yang memposisikan wanita sebagai second opinion, banyak kita jumpai orang tua yang kurang adil dengan membiarkan anak laki laki mereka bermain sepuasnya dengan tidak membebani mereka tugas rumah seperti memasak, mencuci, menyapu dan lainnya, banyak pula orang tua kita yang memberikan kesempatan yang seluas luasnya kepada anak laki laki untuk menyelesaikan pendidikan yang setinggi tingginya dan mengatakan kepada anak wanita bahwa suatu saat akan kembali kerumah dan menjadi ibu rumah tangga yang baik. hal ini tentu saja akan membentuk kepribadian yang berbeda diantara keduanya, anak laki laki seperti layaknya majikan dan wanita tak ubahnya sebagai pembantu rumah tangga. Padahal dalam islam kesempatan yang sama telah diberikan kepada wanita dan pria
Terlalu banyak ayat Al-Quran dan hadis Nabi saw. yang berbicara tentang kewajiban belajar, baik kewajiban tersebut ditujukan kepada lelaki maupun wanita. Wahyu pertama dari Al-Quran adalah perintah membaca atau belajar,
اقرأ باسم ربك الذى خلق[19]
Baik lelaki maupun wanita diperintahkan untuk menimba ilmu sebanyak mungkin, mereka semua dituntut untuk belajar:
طلب العلم فريضة على كل مسلم )ومسلمة ([20]
Kemudian allah juga berfirman ::
فا ستجاب لهم ربهم أنى لا أضيع عمل عامل منكم من ذكر أو أنثى [21]
Ini berarti bahwa kaum wanita dapat berpikir, mempelajari dan kemudian mengamalkan apa yang mereka hayati dari zikir kepada Allah serta apa yang mereka ketahui dari alam raya ini. Pengetahuan menyangkut alam raya tentunya berkaitan dengan berbagai disiplin ilmu, sehingga dari ayat ini dapat dipahami bahwa wanita bebas untuk mempelajari apa saja, sesuai dengan keinginan dan kecenderungan mereka masing-masing[22].
Saat ini untuk peran publik wanita telah banyak mendapatkan tempat walaupun tidak sebanding dengan kuantitas yang ada. Hal ini dikarenakan oleh faktor internal yaitu kurangnya kwalitas dari para wanita itu sendiri. Wanita akan dengan mudah akan bisa mendapatkan hak haknya jika ia bisa bersaing dengan laki laki dalam berbagai hal. Adapun gerakan gerakan tentang pembebasan kaum wanita hendaknya lebih diarahkan pada pejuangan mendapatkan pendidikan yang sama dengan laki laki sebab dengan pendidikan yang tinggi wanita tidak akan mudah tertipu dan dengan mudah bisa mendapatkan perlindungan hukum dari tindak kekerasan. Akan tetapi sayangnya isu isu semacam ini kurang hangat dikalangan akademisi islam mereka sepertinya lebih hangat berbicara mengenai jilbab dan kepemimpinan seorang wanita.
Problematika penafsiran ayat bias gender
Meski Al-Qurân merupakan kebenaran abadi, namun penafsirannya tidak bisa terhindar dari sesuatu yang bersifat relatif. Perkembangan historis berbagai mazhab kalam, fikih, dan tasawuf merupakan bukti positif tentang kerelatifan penghayatan keagamaan umat Islam. Prof. Dr. Said Agil Al-Munawar, Dosen IAIN Jakarta memberikan solusi atas problematika ini dengan menawarkan penggunaan metodologi penafsiran yang dapat mengakomodasi nilai-nilai kontekstual, misalnya dengan metodologi feminisme, Melalui cara ini, pendekatan dilakukan dengan memberikan penekanan pada kaum wanita dan posisi mereka dalam masyarakat serta membandingkannya dengan penekanan kaum pria pada metodologi lainnya. Yang jelas, ada beberapa faktor yang menyebabkan lahirnya metodologi feminisme ini, diantaranya adalah : bahwa dunia ini senantiasa dipandang dan dipahami dari sudut pandang kaum pria. Dalam pandangan ini, wanita hanya digambarkan sebagai obyek yang pasif dibanding sebagai manusia yang dapat bertindak sebagai subyek. Hal ini dapat mengakibatkan dua hal, pertama suatu keadaan di mana kaum wanita terabaikan dan keadaan di mana merebaknya kebencian terhadap wanita. Pada metodologi ini, diharapkan wanita menjadi peneliti utamanya, karena hanya wanitalah yang dianggap benar-benar mengerti kaum wanita dan situasi mereka. Seperti dalam menafsirkan surat An Nisâ’ ayat : 34, Al Qiyâm menurut Muhammad abduh adalah sifat kepemimpinan yang mampu menafkahi lahir batin, mengayomi dan melindungi[23] sebagian ulama mengatakan bahwa ayat diatas tidak terlepas dari ruang lingkup keluarga jadi yang dimaksud dengan Ar rijâl disana adalah suami yang mempunyai kewajiban menafkahi, melindungi, dan mengayomi keluarganya,
Prof. Dr. Nazarudin Umar mengatakan bahwa Hampir semua tafsir yang ada mengalami bias gender. Hal itu antara lain disebabkan karena pengaruh budaya Timur-Tengah yang androcentris. Ada beberapa ayat sering dipermasalahkan karena cenderung memberikan keutamaan kepada laki-laki, diantaranya adalah ayat tentang waris.
يوصيكم الله فى أولادكم للذكر مثل حظ الأنثيين[24]
Akan tetapi ayat-ayat itu tidak bermaksud merendahkan kaum wanita. Ayat-ayat itu boleh jadi merujuk kepada fungsi dan peran sosial berdasarkan jenis kelamin ketika itu. Seperti diketahui ayat-ayat mengenai wanita umumnya mempunyai riwayat sabab nuzul jadi sifatnya sangat historical. Lagi pula ayat-ayat tersebut berbicara tentang persoalan yang detail. Umumnya ayat-ayat seperti itu dimaksudkan untuk mendukung dan mewujudkan tujuan umum (maqashid) ayat-ayat essensial, yang juga menjadi tema sentral al-Qur'an.
Ayat-ayat yang diturunkan dalam suatu sebab khusus (sabab nuzul) terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama, a) apakah ayat-ayat itu berlaku secara universal tanpa memperhatikan kasus turunnya (yufid al-'am), atau b) berlaku universal dengan syarat memperhatikan persamaan karakteristik illat (khushush al-'illah), yang meliputi empat unsur yaitu peristiwa, pelaku, tempat, dan waktu, atau c) hanya mengikat peristiwa khusus yang menjadi sebab (khushush al-sabab) turunnya ayat, dengan demikian ayat-ayat tersebut tidak mengcover secara langsung peristiwa-peristiwa lain[25].
Al-Qur'an dan Nabi Muhammad telah melakukan proses awal dalam membebaskan manusia, khususnya kaum wanita, dari cengkeraman teologi, mitos, dan budaya jahiliyah. Al-Qur'an dan hadits yang berbicara tentang beberapa kasus tertentu, hendaknya dilihat sebagi suatu proses yang mengarah kepada suatu tujuan umum (maqashid al-syari'ah). Al-Qur'an mempunyai seni tersendiri dalam memperkenalkan dan menyampaikan ide-idenya, misalnya dengan: a) berangsur, dan b) tanpa memberatkan. Sebagai contoh, upaya menghapuskan minuman yang memabukkan (iskar), diperlukan empat ayat turun secara bertahap[26]. Jika kita perhatikan ayat-ayat yang turun berkenaan dengan persoalan perbudakan, kewarisan, dan poligami, runtut turunnya ayat-ayat tersebut mengarah kepada suatu tujuan, yaitu mewujudkan keadilan dan menegakkan amanah dalam masyarakat.
Dalam melihat hak asasi wanita dalam Islam, kiranya kita tidak hanya memusatkan perhatian kepada peraturan-peraturan yang ada dalam kitab-kitab Fiqh. Mestinya juga dilihat dan dibandingkan bagaimana status dan kedudukan wanita sebelum Islam. Misalnya dalam soal warisan; anak wanita mendapat separoh bagian dari yang didapat anak laki-laki[27]. Ketika ayat ini memberikan bagian kepada anak wanita, meskipun itu hanya separoh, telah menimbulkan kekagetan (shock) dalam masyarakat, karena ketentuan baru itu dianggap menyimpang dari tradisi besar mereka. Ketentuan sebelumnya harta warisan itu jatuh kepada anggota keluarga yang bisa mempertahankan clan atau qabilah, dalam hal ini menjadi tugas laki-laki. Sekalipun laki-laki tetapi belum dewasa maka dihukum sama dengan wanita. Itulah sebabnya Nabi Muhammad tidak memperoleh harta warisan dari bapak dan neneknya karena ia masih belum dewasa.
Bagaimana jadinya seandainya pembagian warisan ketika itu ditetapkan sama rata kepada anggota keluarga tanpa membedakan peran jenis kelamin, sementara peran sosial berdasarkan peran jenis kelamin ketika itu sangat menentukan. Mencari titik temu antara wahyu dan budaya lokal adalah tugas para ulama. Para ulama berusaha merumuskan suatu pranata --kemudian lebih dikenal dengan Fiqh Islam-- dengan melakukan sintesa antara kultur Arab dan prinsip-prinsip dasar al-Qur'an.
Meskipun laki-laki dalam Fiqh Islam masih terkesan dominan tetapi martabat wanita sudah diakui, bahkan wanita selalu di bawah perlindungan laki-laki. Kalau ia sebagai isteri dipertanggung jawabkan oleh suami, sebagai anak dipertanggung jawabkan oleh Bapak, sebagai saudara dipertanggungjawabkan oleh saudara laki-laki, meskipun ia lebih tua, dan menerima mahar dari laki-laki. Kaum laki-lakilah yang bertanggung jawab terhadap seluruh anggota keluarga clan dan/kabilah yang ketika itu sangat rawan.
Tanpa mengurangi rasa hormat kita kepada para fuqaha', memang ada beberapa hal dalam kitab Fiqh dinilai telah selesai memenuhi tugas historisnya. Jika kita konsisten terhadap kaidah “hukum mengikuti perkembangan zamannya” maka fiqh Islam sudah semestinya diadakan berbagai penyesuaian.
Salah satu upaya al-Qur'an dalam menghilangkan ketimpangan peran jender tersebut ialah dengan merombak struktur masyarat qabilah yang berciri patriarki paternalistik menjadi masyarakat ummah yang berciri bilateral-demokratis. Promosi karier kelompok masyarakat qabilah hanya bergulir di kalangan laki-laki, sedangkan kelompok masyarakat ummah ukurannya adalah prestasi dan kualitas, tanpa membedakan jenis kelamin dan suku bangsa. Itulah sebabnya Rasulullah sejak awal mengganti nama Yatsrib menjadi Madinah, karena Yatsrib terlalu berbau etnik (syu'ubiyah), sedangkan Madinah terkesan lebih kosmopolitan[28]
Penutup
Meskipun banyak sekali literatur tentang pembebasan wanita dalam pandangan islam namun kiranya perlu dilakukan penelitian lebih jauh terhadap penafsiran ayat-ayat Al-Quran yang berbias pria yang selama ini diterima begitu saja. Penelitian ini sangat penting karena akan mengundang para pembacanya untuk bersikap lebih kritis terhadap apa yang dianggap "ajaran Islam" yang ada, yang mungkin sebenarnya berasal dari budaya sebelum Islam dan bertentangan dengan ruh Islam. Selain itu, banyak juga penafsiran yang cenderung membatasi peran wanita pada lingkup domestik saja, dan menganggap posisi wanita lebih rendah dibandingkan pria.
Akibatnya, potensi wanita sebagai manusia tidak dapat diaktualisasikan dengan semestinya. Kajian tentang wanita ini menjadi penting untuk memberdayakan kaum wanita, untuk membiarkan mereka mengetahui bahwa mereka memiliki hak yang sama dengan pria dalam agama, juga dalam hal memutuskan apa yang mereka inginkan. Pemberdayaan ini akan berguna untuk kepentingan yang lebih luas. Contoh kesadaran untuk ber-KB itu menunjukkan bahwa mereka merasa punya hak atas badan mereka sendiri, serta berhak ikut menentukan pengaturan memiliki anak. Wallahu a’lam
________________________________________
[1] Penulis adalah pemerhati dan pecinta wanita
[2] Muhammad Athiyah Al Abrasy Adlmah Al islam Juz II, Maktabah Al usrah, Kairo, 2002, hal. 181
[3] M. Quraish Shihab, Wawasan Al Quran, Mizan, Bandung, 2000, hal. 296
[4] Ibid, hal. 297
[5] QS. An Nisa (4) : 1
[6] Muhammad ‘Abduh, Al-A‘mâl Al-Kâmilah, (Diedit oleh Dr Muhammad Emarah), Kairo: Dâr Al-Syurûq, 1993, Juz V, hal. 160
[7] QS. Quraisy (106) : 1-2
[8] QS. Al Takwîr (81) : 8-9
[9] QS. An Nisa’ (4) : 19
[10] Muhammad ‘Abduh, op.cit., hal. 185
[11] QS. Al Nisa’ (4) : 22
[12] Dr. Mahdi Fadllullah, Al-‘Aql wa Al-Syarî‘ah, Beirut: Dâr Al-Thalî'ah, 1995, hal. 97
[13] QS Al-Nisâ' (2): 3
[14] QS. Al Hujurât (49) : 13
[15] QS Al-Baqarah (2): 35
[16] QS. Al-A'rif (7) :20,22,23
[17] QS. Al-Baqarah (2) :187
[18] Untuk lebih lengkapnya lihat : Jamal Al Banna Al Hijab, Kairo : Dar Al Fikr Al Islami, Cet II, 2002, hal :184
[19] QS. Al Alaq (96) : 1
[20] HR. Al Thabarani melalui ibn mas’ud.
[21] QS. Ali Imran (3) : 195
[22] Muhammad Athiyah Al Abrasy, op. cit., hal. 247
[23] Muhammad ‘Abduh, op. cit., hal. 201
[24] QS. Al Nisa’ (4) : 11
[25] Manna’ Al Qattan Mabahits Fi Ulumil Al Qur’an, Riyadl : Maktabah Ma’arif, cet II, 2000 hal. 83
[26] Ibid., hal. 111,112
[27] QS. Al-Nisa' (4) :11
[28] Lebih jauh lihat Dr. Syafi’i Ma’arif Islam dan Politik, Jakarta : Gema insani press, 1996. hal : 140

[+/-] Selengkapnya...