Saturday, October 18, 2008

Dahlan Iskan: Definisi Uang yang Kian Panjang

Apakah uang? Menurut orang biasa seperti saya, definisi itu sederhana sekali: uang adalah alat pembayaran untuk membeli barang atau mendapatkan jasa. Titik.

Tapi, di mata orang-orang tertentu, definisi uang seperti itu tidak cukup. Harus ditambah sesuai dengan kepentingan masing-masing:

Bagi orang yang takut miskin, uang adalah juga alat untuk menumpuk kekayaan.

Bagi orang yang takut menjadi rakyat biasa, uang adalah alat untuk membeli jabatan.

Bagi orang yang punya utang, uang adalah alat untuk menunda pembayaran tagihan (lewat cek mundur).

Bagi yang takut neraka, uang adalah alat untuk mencari pahala (bayar zakat fitrah pun sudah tidak perlu lagi dengan beras).

Bagi yang takut masuk surga, uang adalah alat untuk menipu (misalnya dengan cek kosong).

Bagi orang miskin, uang adalah alat untuk memproduksi mimpi...(Dulu, saya pernah bermimpi diberi uang Rp 100 saat berlebaran ke rumah keluarga yang kaya, tapi uang itu direbut oleh kakak saya. Saya langsung menangis bukan hanya dalam mimpi, tapi sampai setelah bangun. Saya begitu ingin mimpi lagi tanpa diganggu kakak saya).

Yang juga penting, uang adalah sesuatu yang bisa hilang. Hanya cara hilangnya yang berbeda-beda dan cara menangisinya yang juga tidak sama.

Dan, dari pengalaman krisis keuangan ini, uang adalah bukan uang. Tepatnya, uang adalah sekadar angka-angka.

Buktinya, banyak sekali orang yang dalam krisis sekarang ini merasa kehilangan uang sampai puluhan miliar, tapi mereka tidak pernah mengalami kesulitan untuk membeli makan, pakaian, keperluan rumah, bepergian ke luar negeri, dan seterusnya. Makannya juga masih di restoran mahal, kalau bepergian masih tidur di hotel bintang lima, masih beli tas LV, dan masih ke Makau.

Menurut saya, orang-orang itu sebenarnya tidak kehilangan uang. Seandainya uang tersebut tidak hilang di mesin derivatif pun, toh tidak akan digunakan untuk membeli apa-apa. Tidak sekarang, bahkan tidak juga sepuluh tahun lagi. Bahkan sampai meninggal pun tidak akan pernah menggunakannya untuk membeli beras. Apakah yang demikian itu masih bisa disebut uang? Meski nilainya sampai puluhan miliar, rasanya nilai uang itu hanya sama dengan uang Rp 100 yang saya (mimpikan) terima dari keluarga kaya saat Lebaran itu: memilikinya hanya di angan-angan dan hilangnya juga di angan-angan.

Yang hilang itu bukan "uang" yang akan dibelikan rumah mewah yang bisa membuatnya lebih bergengsi -karena memang sudah punya rumah seperti itu, atau yang akan dibelikan jas tuxedo yang bisa membuatnya lebih ganteng -karena jasnya sudah berlemari-lemari, atau yang akan dibelikan kalung mutiara yang bisa membuatnya cantik -karena berliannya sudah tak terhingga. Maka, yang hilang itu sebenarnya bukan uang. Itu hanya angka-angka. Seperti saya dulu kehilangan angka-angka dalam rapot SD saya -karena tintanya luntur oleh tetesan air hujan yang bocor melalui genteng yang tidak dilapisi plafon.

Karena itu, orang yang tidak ikut main angka-angka derivatif tidak perlu ikut menangis. Kecuali menangis dalam angan-angan. Bekerjalah seperti biasa, carilah uang, dan kalau sudah dapat, belikan sesuatu yang diperlukan. Lalu, bekerja lagi. Bekerjalah sungguh-sungguh -karena tidak ada orang yang bekerja hanya di angan-angan. (*)

[+/-] Selengkapnya...

Thursday, October 16, 2008

Dahlan Iskan : Mengapa Tidak Langsung Bangkit

Ketika sepak bola Inggris kalah di Piala Dunia tahun lalu, siapa yang harus disalahkan?

''Margaret Thatcher!'' teriak seorang politikus di sana.

Lho, apa hubungan sepak bola dengan wanita yang sudah sangat tua itu? ''Waktu dia menjadi perdana menteri, subsidi susu untuk murid SD dikurangi. Akibatnya, tulang pemain Inggris banyak yang patah. Pemain sepak bola yang ikut Piala Dunia itu masih SD saat Thatcher menjadi perdana menteri," tambahnya.

Lalu, siapa yang harus disalahkan atas terjadinya krisis keuangan di Amerika dan dunia saat ini? ''Al Khawarizmi!" Apa hubungan krisis zaman ini dengan tokoh yang hidup di zaman kuno itu?

Dialah yang menemukan logaritma dan matematika. Gara-gara ilmu matematika itulah, belakangan ini muncul satu jenis produk bank yang disebut derivatif. Tanpa ilmu matematika tidak mungkin ada derivatif (bahasa Mandarinnya...)

Lalu, ada yang bilang bahwa penyebab sebenarnya adalah orang Mesir atau Tiongkok. Orang Mesirlah yang menemukan matematika dengan geometrinya saat mendirikan piramida. Atau, barangkali karena orang Tiongkok menemukan sipoa yang menjadi awal ilmu matematika-aritmatika.

Bahkan, jangan-jangan yang salah adalah Al Jabr karena dialah yang menciptakan angka. Mungkin juga kita bisa menyalahkan Girolamo Cardano yang pada tahun 1500-an menemukan teori probabilitas (ilmu peluang).

Simaklah rumus yang saya sertakan di tulisan ini. Itulah wujudnya kalau ilmu matematika, geometri, aritmatika, statistik, dan probabilitas dimasak menjadi satu. Lalu ditambahi bumbu rakus. Kokinya para banker dan pelaku pasar modal. Maka, jadilah masakan siap saji yang disebut ''model''. Model itu lantas menjadi software. Lalu, dianggap sebagai ilmu kebenaran. Semua pemain derivatif menggunakan ''software model'' derivatif itu untuk membenarkan hitungan bahwa uang yang hari itu nilainya 1 juta, lima tahun atau 10 tahun yang akan datang bisa menjadi, misalnya, 100 miliar.

Seandainya Anda punya uang Rp 1 juta, lalu ditawari untuk ikut derivatif, tentu Anda akan bertanya bagaimana caranya kok uang tersebut bisa tumbuh begitu menggiurkan? Lalu, operator derivatif akan menyodorkan rumus yang ruwet itu. Sanggupkah Anda memahami rumus itu? Yang menjelaskan sendiri bisa jadi tidak bisa benar-benar memahami. Mereka bisa langsung minta bantuan komputer untuk ''memprosesnya'': Rp 1 juta x model + enter. Keluarlah angka Rp 100 miliar di laptop. Masalahnya, semua pilihan model adalah yang asumsinya baik. Tidak pernah diciptakan model yang didasarkan asumsi sebaliknya. Maka, tidak ada Rp 1 juta x model + enter = hilang.

Meski semua pihak kini sudah tahu bahwa penyebab krisis ini adalah derivatif, akan diapakan ''binatang'' itu masih belum ada pembicaraan. Melarangnya sama sekali kelihatannya sulit, mengingat sudah dibuktikan bahwa dengan derivatif hidup ini bisa lebih hidup. Tapi juga sudah dibuktikan bahwa derivatif membuat kekacauan.

Kalau kelak derivatif cukup dibatasi, akan menjadi perdebatan seru pembatasan itu sampai pada derivatif keturunan berapa. Sekarang ini derivatif mungkin sudah sampai 13 keturunan. Nah, apakah akan dibatasi sampai lima keturunan saja? Misalnya, swaps masih diperbolehkan. Tapi, anaknya, CDS (credit default swaps), mungkin sudah tidak boleh. Apalagi cucunya yang bernama credit default option, atau cicitnya yang disebut credit default swaption, atau cicit-cicit berikutnya lagi. Saya kira, sekian keturunan dari derivatif pasti akan dilarang.

Kalau kebangkitan hari pertama pasar modal Senin lalu tidak langsung diikuti oleh kebangkitan lebih lanjut di hari-hari berikutnya, antara lain karena soal yang mendasari krisis itu sendiri belum diselesaikan. Semua memang masih sibuk melakukan PPPK (pertolongan pertama pada kecelakaan). Yang penting pasar modal dan perbankan selamat dulu. Terutama perbankan. Usaha ini kelihatannya berhasil. Namun, untuk bisa memulihkan ke keadaan semula, tentu masih harus menunggu diselesaikannya pengaturan derivatif.

Siapa yang mengatur derivatif itu?

Selama ini tidak ada!

Bisnis yang menyangkut USD 600 triliun ini (bandingkan dengan GDP Amerika yang hanya USD 15 triliun) diatur oleh pelaku derivatif itu sendiri. Mereka membentuk persatuan pelaku derivatif. Namanya Asosiasi Swaps dan Derivatif Internasional. Asosiasi itulah yang mengatur segala sesuatu tentang bisnis ini. Mulai aturannya hingga format-format kontraknya. Tidak ada pemerintah mana pun yang mampu mencampurinya.

Padahal, korban derivatif ini luar biasa banyaknya. Mulai perorangan, perusahaan, hingga lembaga keuangan sendiri. Termasuk yang menjadi berita besar awal tahun ini: Societe General rugi USD 7,2 miliar juga oleh derivatif. Bahkan, beberapa tahun lalu sebuah pemda di Amerika, kabupaten terkenal di California bernama Orange County, juga menyatakan diri bankrut sebagai korban derivatif. Di sana pemda memang diperbolehkan mengeluarkan obligasi untuk pembangunan daerahnya. Tapi, dalam kasus Orange County ini, dana daerah dimainkan di derivatif. Kalau berhasil sih, 30 persen APBD-nya akan datang dari hasil derivatif itu. Tapi, bendaharawan kota itu salah hitung. Lalu, kota itu pun dinyatakan bangkrut.

Siapa yang kira-kira akan ambil inisiatif untuk mengatur semua itu?

Pemerintah AS? Bukan urusannya. Bank Dunia? Bukan bidangnya. Bank sentral masing-masing negara? Juga bukan tugasnya.

Para penemu logaritma, geometri, aritmatika, Al Khawarizmi, Al Jabr, Girolamo Cardano, barangkali, harus bangkit dulu dari kubur mereka untuk merundingkannya. (*)

[+/-] Selengkapnya...

Tuesday, October 14, 2008

Dahlan Iskan : Benar-Benar Senin yang Melegakan

DUA jam kemarin pagi adalah dua jam yang paling menegangkan bagi siapa pun yang tidak menginginkan Indonesia terseret dalam krisis keuangan dunia. Senin kemarin menjadi hari yang penuh harap-harap cemas, karena merupakan hari kerja pertama setelah libur lima hari (bagi bursa saham) dan libur dua hari bagi bank nasional.

Sejak malam sebelumnya, dua pertanyaan besar terus mencemaskan: 1). Apakah ketika bank mulai buka pada pukul 08.00 terjadi rush atau tidak? 2). Ketika bursa saham mulai buka, terjadi kemerosotan indeks secara drastis atau tidak?

Kalau saja terjadi rush, kacaulah perekonomian kita. Demikian juga, kalau terjadi guncangan besar di lantai bursa, paniklah kita.

Dua-duanya sangat melegakan. Begitu melewati pukul 10.00 WIB kemarin semua orang seperti bernapas panjang -lega. Semua bank aman dari gejala rush. Lantai bursa juga hanya turun beberapa puluh poin, lalu menguat di sore hari dan ditutup dengan posisi positif.

Pasar saham dan pasar Tanah Abang ternyata tidak perlu harus dikorbankan salah satunya.

Kita harus berterima kasih atas kesigapan dan keseriusan pemerintah menjaga perekonomian dari imbas krisis di Amerika. Saya dengar tim ekonomi, termasuk tim pasar modal, harus sudah bekerja pukul lima pagi dan baru pulang tengah malam. Tapi, memang itulah yang harus dikerjakan agar selamat dari badai.

Bahkan, penjaminan terhadap bank jauh melebihi yang diinginkan banyak orang. Saya hanya mengusulkan bahwa yang penting ada. Ini pun sekadar untuk menenteramkan masyarakat. Sebab, jaminan itu pada kenyataannya tidak akan dipakai. Para pengusaha memang minta jaminan sampai Rp 1 miliar. Menurut saya, itu sudah sangat tinggi. Pemerintah ternyata justru menjamin sampai Rp 2 miliar. Sekali lagi, Rp 1 miliar atau Rp 10 miliar toh hanya jaminan. Di sini pemerintah sangat "cerdas" menyikapinya.

Setelah aman dari bahaya rush, perbankan memang masih perlu satu senjata lagi: likuiditas. Kini saatnya bank perlu diberi pinjaman. Tentu pinjaman yang sifatnya hanya untuk menggantikan sumber dana "satu malam". Dana "satu malam" itu biasanya mereka atasi sendiri dengan apa yang disebut "pinjaman antarbank". Setiap sore bank selalu tutup buku. Dari sini akan diketahui mana bank yang "kalah kliring" dan mana yang "surplus". Yang kalah kliring biasanya meminjam uang ke bank yang surplus.

Kini, dalam keadaan krisis dunia, semua bank hanya memikirkan dirinya sendiri. Bukan hanya bank, setiap perusahaan harus mengambil sikap aman untuk dirinya sendiri dulu. Bahkan, perorangan pun akan mengambil sikap serupa. Maka dalam situasi seperti ini sama sekali jangan berusaha mencari pinjaman. Semua orang, semua pihak "mengunci" pintu masing-masing.

Sampai kapan? Sampai rasa saling percaya itu tumbuh kembali. Selama masa saling tidak percaya itulah pemerintah diminta menjadi "terminal terakhir". Di bidang ini pun langkah pemerintah sangat memuaskan.

Di bidang bursa, ada dua kiat penting yang dilakukan otoritas bursa. Menjelang dibuka kemarin, apa yang selama ini disebut "pre opening market" ditiadakan. Kapan diperbolehkan lagi masih belum diputuskan. Masih harus menunggu situasi menjadi stabil dulu.

Pre opening market itu memang bisa mengguncangkan. Waktu pre opening market hanya sekitar lima menit sebelum bursa dibuka. Di situlah dilakukan negosiasi pembelian dan penjualan secara blok (pembelian saham dalam jumlah besar). Pelakunya biasanya para broker saham, baik yang terafiliasi dengan emiten maupun tidak.

Kelemahan pre opening market adalah tidak terbukanya harga saham, justru sebelum pasar dibuka.

Langkah kedua yang juga hebat adalah ditindaknya pelaku short selling yang gagal serah atau gagal bayar. Short selling dalam praktiknya adalah menjual saham di pagi hari lalu membelinya kembali di sore hari. Atau sebaliknya. Praktik itu sendiri sampai sekarang secara legal masih sah, tapi akan menjadi pelanggaran kalau ternyata pelakunya gagal menyerahkan saham atau gagal membayar.

Senin kemarin benar-benar hari yang melegakan dan memberi harapan. (*)

[+/-] Selengkapnya...

Saturday, October 11, 2008

Cito! Cepat Selamatkan Dulu Bank!

Oleh Dahlan Iskan

Tujuh negara industri terbesar dunia berkumpul hari ini untuk mencari jalan keluar dari krisis moneter yang gawat ini. Tapi, para ahli sangat pesimistis mereka bisa menemukan jalan itu. Sudah begitu banyak masing-masing pemerintah menciptakan paket penyelamatan. Semuanya tidak bisa meredam kemerosotan pasar modal.

Bagi kita di Indonesia, harapan terbesar adalah jangan sampai unsur-unsur di dalam pemerintah berjalan sendiri-sendiri. Apalagi bertengkar. Kita semua tahu bahwa jumlah ahli ekonomi kita bukan hanya sangat banyak, tapi juga aliran ekonomi mereka berbeda-beda. Mulai dari yang beraliran konservatif sampai yang populis. Belum lagi yang menganut aliran sempalan. Masing-masing punya dasar pemikiran sendiri, merasa benar sendiri, dan saling bersikukuh mempertahankannya.

Dalam suasana krisis seperti ini, satu komando sangat diperlukan. Sampai hari ini, saya cukup bangga karena tidak terjadi perbedaan pendapat di antara elite pemerintah yang sampai mencuat ke media. Memang ada desas-desus tentang siapa yang menginginkan Bank Indonesia harus segera intervensi (untuk menstabilkan rupiah) dan siapa yang menentang. Tapi, tidak menjadi perang di bawah permukaan -apalagi di atasnya. Politisi juga cukup dewasa untuk tidak menjadikan masalah krisis sebagai bahan mencari popularitas. Sebagian mungkin memang karena tidak paham akar persoalannya yang rumit, sebagian karena rakyat juga sudah sangat dewasa. Politisi yang memanfaatkan krisis ini untuk popularitasnya justru akan dicela rakyat.

Saya amati rakyat di semua negara memang sangat kompak untuk membela negara masing-masing, lepas apakah pemerintahnya dari partai yang mereka dukung atau tidak.

***

Hari ini, pemerintah pertama-tama harus kompak dalam menyelamatkan sistem perbankan nasional kita. Nasabah dan rakyat harus ditenangkan dengan policy yang jelas dan tegas. Yang terpenting, antara lain, adalah memberikan penjaminan deposito dan tabungan masyarakat.

Saya percaya penjaminan itu tidak akan berbuntut panjang seperti saat krisis dulu. Sebab, perbankan nasional kita sekarang sudah sangat dewasa. Semua negara melakukan langkah ini meski ahli ekonomi yang menganut aliran konservatif tidak akan setuju. Teoretis, sebenarnya tidak perlu ada rush. Tapi, ketidakpercayaan masyarakat pada sistem keuangan hari-hari ini bisa membuat bank yang lagi bersaing saling menyebarkan isu rush. Yang mula-mula hanya isu bisa terjadi sungguhan. Ini sangat membahayakan sistem perbankan kita.

Kalau sistem perbankan ambruk, ekonomi akan runtuh. Rakyat akan sengsara.

Nomor satukan penyelamatan perbankan nasional kita. Gunakan semua dana penjaminan yang selama ini dikumpulkan oleh bank di rekening khusus penjaminan itu. Maksimumkan upaya ini, mumpung ini hari Sabtu. Umumkan pagi ini juga bahwa semua deposito dan tabungan dijamin pemerintah. Jangan terlambat! Kita lagi bersaing dengan kecepatan beredarnya SMS dan telepon seluler.

***

Ini persoalan dunia yang kompleksnya bukan main. Perusahaan yang terlibat derivatif lagi bertumbangan. Cobalah kita bayangkan perusahaan yang enam bulan lalu membeli minyak dengan harga USD 130 per barel. Tentu, hari ini, perusahaan tersebut belum menerima minyaknya karena dua hal. Pertama, harga itu memang untuk penyerahan minyak enam bulan kemudian. Kedua, tujuan pembeli minyak itu memang bukan untuk memiliki minyak, tapi hanya untuk menjual "hak" atas minyak itu saja. Yang membeli "hak" itu pun hanya ingin menjual lagi dengan harga yang lebih tinggi. Yang sudah dapat harga lebih tinggi itu pun masih ingin menjual lagi ke harga yang lebih tinggi. Begitu seterusnya. Minyak yang mungkin berjumlah 1 juta barel itu seolah-olah sudah menjadi 10 juta barel di pasaran.

Triliunan dolar derivatif yang menyangkut minyak ini akan memakan korban luar biasa besar. Sudah akan mengalahkan nilai kredit macet subprime mortgage yang mengawali krisis ini.

Seminggu yang lalu, harga minyak tinggal 100 dolar per barel. Anda bayangkan berapa besar kerugian perusahaan yang membeli minyak dengan harga 130 dolar itu. Membelinya pasti dengan kredit. Kini, pasti kreditnya macet. Kredit yang macet bukan sebesar harga 1 juta barel, mungkin sampai lebih 10 juta barel. Sebab, minyak tersebut sudah diderivatifkan: future, hedging, option, equity swap, dan seterusnya.

Bahkan, dengan harga minyak kemarin menjadi serendah 80 dolar/barel, tingkat kemacetan pasti kian luas lagi. Maka, kinilah saatnya harga minyak akan menjadi normal sewajarnya lagi, sekitar USD 60 atau 70 dolar per barel. Kenapa harga ini normal? Sebab, biaya produksi minyak itu hanya sekitar 35 dolar per barel. Ditambah macam-macam, termasuk mahalnya investasi, jatuhnya sekitar 50 per barel. Maka, laba 30 persen adalah bisnis yang wajar. Tapi, dengan harga minyak 140 dolar per barel dan dengan biaya produksi yang tetap, bisnis ini bisa mencapai laba 300 persen. Kata "rakus" saya kira kurang kasar. Tentu ada yang murka.

Gambaran seperti itulah yang juga terjadi di bisnis jasa keuangan. Semua pedagang di Pintu Kecil Jakarta atau Kembang Jepun di Surabaya tentu tahu bahwa laba normal bisnis jasa itu sekitar 2,5 persen. Mengapa? Bisnis jasa itu tidak perlu modal besar dan risikonya kecil. Wajar kalau labanya lebih kecil. Yang penting volumenya sangat besar dan perputarannya cepat. Memang sesekali bisnis jasa bisa dapat laba 30 persen, tapi sifatnya harus hanya "sesekali". Misalnya kalau pas lagi ada nasib baik. Satu atau dua hari. Setelah itu akan normal lagi ke laba 2,5 persen. Bahkan, kadang, laba 0,5 persen pun sering dijalani asal cash flow-nya baik.

Tapi, coba perhatikan perusahaan-perusahaan jasa keuangan dalam 10 tahun terakhir ini. Labanya bisa 30 persen. Bahkan bisa 60 persen! Ini juga rakus. Total sedunia, laba jasa keuangan ini menguasai 40 persen dari laba seluruh sektor usaha. Sedang sektor industri kurang dari 20 persen. Padahal, laba sektor industrilah yang seharusnya lebih tinggi. Sunnatullah-nya harus begitu. Sebab, di sektor industrilah orang harus benar-benar bekerja: tanam modal, membeli bahan baku, menjual bahan jadi, mengurus buruh, dan seterusnya. Benar-benar bekerja mengeluarkan keringat. Bagaimana bisa laba industri kalah oleh laba sektor jasa? Tentu ada yang murka.

Dunia secara alamiah akan kembali ke situasi 12 atau 15 tahun yang lalu. Bagi kita, 12 tahun yang lalu tidak terlalu jelek.

Asal sistem perbankan kita diselamatkan lebih dulu! Hari ini juga! Ibarat seorang dokter yang kedatangan pasien gawat, sang dokter akan langsung menulis di resepnya: cito! Bukan main urgennya. Seumpama di apotek ada antrean panjang pun, pemegang resep cito! harus langsung dilayani dulu. (*)

[+/-] Selengkapnya...

Sebuah Kuburan Keruwetan

Di kuburan besar itu tidak ada penjelasan siapa yang dimakamkan ramai-ramai di situ. Di tiap batu nisannya hanya tertulis kata-kata begini: penyebab kematiannya adalah keruwetan. Oh, tidak sulit menebak kuburan siapa gerangan itu: Lehman Brothers dan kawan-kawan! Dan, keruwetan yang menyebabkan tewasnya berbagai perusahaan terbesar di dunia itu adalah sebuah urusan yang, menurut Warren Buffett, bernama "racun derivatif".

Racun itu terbuat dari ramuan "kecerdasan, gairah, dan kerakusan". Unsur-unsur dalam ramuan itu, misalnya, commercial papers, mortgage-backed securities, short selling, hedging, over the counter, credit default swaps, equity swaps, interest swaps, margin trading, futures, forward, option, dan banyak lagi. Kalau toh bisa diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, arti dari tiap-tiap istilah keuangan itu tetap saja ruwet. Seruwet memahami definisi dan peraturannya.

Gampangnya: semua itu adalah anak-cucu dari sistem perbankan yang merasa tidak cukup lagi kalau hanya mendapat keuntungan dari menerima tabungan dan memberi pinjaman. Harus diciptakan produk-produk perbankan yang baru. Itulah derivatif. Yang menciptakannya harus cerdas, bergairah, dan rakus. Yang menjalankannya harus bergairah, rakus, dan cerdas. Yang memilikinya tidak harus cerdas, tapi tetap harus rakus dan bergairah.

Saya punya teman pengusaha besar yang asalnya sangat miskin. Dia lima bersaudara. Saudara tertua kerja mati-matian membanting tulang secara fisik. Sampai harus bertani dan kemudian berkebun sendiri. Lama-lama si sulung itu menjadi pengusaha besar hasil bumi. Dia tidak ingin adiknya tidak sekolah tinggi seperti dirinya. Karena itu, adiknya yang terkecil disekolahkan ke Amerika. Sekolah keuangan. Maksudnya, agar perusahaan keluarga yang dikelola secara tradisional itu kelak bisa jadi perusahaan modern.

Si bungsu sekolah dengan tekun dan jadi ahli keuangan. Ketika pulang, dia merasa perusahaan yang dirintis kakaknya itu harus dibuat modern. Sistem keuangannya harus secanggih di AS, terutama struktur pendanaannya. Si sulung merasa bodoh dan karena itu menyerahkan saja semuanya kepada si bungsu. Terjadilah krismon. Struktur keuangannya ternyata rapuh. Perusahaan itu mengalami kesulitan yang luar biasa. "Pak Dahlan, gara-gara adik, sekarang saya harus kembali bertani lagi," katanya saat krismon masih berlangsung. Syukurlah kini dia sudah jaya kembali.

Sistem keuangan modern memang luar biasa variasinya. Apalagi mendapat dukungan sistem komputer. Perdagangan derivatif kian lama kian membesar. Tentu semuanya di atas kertas, atau di layar komputer. Meski namanya jual-beli, yang berpindah tangan bukan barang atau uang, melainkan angka-angka. Bertukarnya juga sangat kilat. Antarnegara sekalipun bisa secepat kilat. Kalau menanam tebu memerlukan 16 bulan, menanam derivatif hanya dalam hitungan detik.

Enam tahun lalu, Warren Buffett, sudah mengingatkan secara terbuka bahaya perdagangan derivatif ini. "Derivatif adalah senjata pemusnah masal keuangan," katanya. Waktu itu istilah senjata pemusnah masal lagi top-topnya sebagai alasan Presiden Bush untuk menyerang Iraq dan menangkap Saddam Hussein. "Saya tidak tahu kapan meledak, tapi suatu hari kelak pasti meledak," tambahnya.

Derivatif ternyata meledak sekarang.

Warren Buffett adalah orang terkaya di dunia saat ini, mengalahkan Bill Gate. Dialah chairman Berkshire Hathaway yang memiliki bisnis ritel terbesar di dunia: Wal-mart. Dia punya pengalaman pahit membeli perusahaan yang rupanya sudah digelembungkan melalui berbagai perdagangan derivatif. Mau dia jual lagi tidak laku. Maka dia harus membersihkan "lemak dan kolesterol" dari perusahaan itu selama lima tahun dengan kerugian yang sangat besar. Dari situ dia menyimpulkan bahwa derivatif pasti akan meledak jadi bom keuangan. Bahkan, dalam lima tahun setelah dia ucapkan, bom itu sudah lima kali lipat besarnya.

Subprime (mortgage) ternyata hanya satu bagian kecil dari penyebab kekacauan keuangan sekarang ini. Volume uang yang terkait dengan derivatif ini jauh lebih besar daripada perkiraan semula yang hanya USD 15 triliun. (Dalam rupiah harus ditulis begini: Rp 141.000.000.000.000.000, dengan asumsi kurs Rp 9.400 per dolar AS). Bisa jadi transaksi derivatif ini mencapai USD 516 triliun. Angka ini dikeluarkan oleh "ketuanya" bank-bank sentral seluruh dunia yang disebut Bank of International Settlement (BIS) yang berpusat di Basel, Swiss.

Begitu besar dan ruwetnya, sampai-sampai menurut Buffett, pemerintah mana pun, termasuk USA, tidak bisa lagi mengontrol perdagangan derivatif itu. "Bahkan, hanya untuk memonitor pun sudah tidak mampu," katanya.

Derivatif ini sebenarnya sudah sulit dibedakan dengan perjudian. Dalam perdagangan saham murni, meski ada unsur spekulasinya, masih bisa dianalisis. Tapi, dalam perdagangan derivatif yang bisa menganalisis hanya para pelaku sistem itu. Pemilik uang sulit memahaminya.

Saya punya teman baik yang juga penggemar Formula One. Sukanya keliling dunia. Dan memotret. Dia pernah bekerja keras selama 20 tahun untuk mengumpulkan uang sampai Rp 40 miliar. Uang itu dipercayakan kepada satu bank di Singapura untuk diputar. Masuklah ke mesin derivatif. Dalam hitungan detik, uang itu amblas. Di meja judi pun tidak akan secepat itu!

"Saya ini kebalikan dari Anda," katanya menghibur diri. "Kalau Anda, sakit hati dulu lalu mengeluarkan uang. Kalau saya, mengeluarkan uang dulu, lalu sakit hati," katanya.

Tidak sedikit orang atau perusahaan yang punya jalan hidup seperti itu.

Memang tidak gampang memahami rumus derivatif ini. Saya biasanya menghindar saja, daripada pusing. Kelihatannya memang ndeso, bodoh, dan tidak modern, tapi saya memang benar-benar sulit memahami rumusnya.

Bahkan, rumus itu ternyata memang tidak pernah ada. Kesalahan pokok sistem derivatif adalah tidak adanya kepastian apakah harga saham, uang, bunga, margin, aset, dan seterusnya itu bisa diperkirakan untuk jangka 3 atau 5 atau 10 tahun. Bahkan, tidak bisa diketahui apakah pasarnya itu memang ada. Artinya, kalau satu saham yang dibeli itu kini harganya Rp 1 juta, lalu diperkirakan 5 tahun lagi menjadi Rp 10 juta, maka pertanyaannya adalah: apakah benar lima tahun kemudian jadi Rp 10 juta? Kalau toh "ya", apakah ada pembelinya?

Karena kepastian itu memang tidak ada, digunakanlah berbagai asumsi. Sekian banyak asumsi lantas dijadikan satu menjadi "model". Variasi dari gabungan asumsi itu melahirkan berbagai model. Belakangan jadilah "model' itu seperti fakta kebenaran. Yang semula hanya "model" lantas seperti "pasar yang sesungguhnya".

Akibatnya, sebelum transaksi, selalu angka-angkanya dimasukkan begitu saja ke dalam model di komputer. Komputer yang akan menganalisis. Lalu keluarlah angka-angka akhir: berapa harga saham atau uang itu lima tahun ke depan. Nilai itulah yang kemudian dianggap sebagai kekayaan riil saat ini. Termasuk bisa menjualnya atau menjaminkannya untuk pinjam uang. Jaminan itu lantas dijaminkan lagi, dijaminkan lagi, dijaminkan lagi.... Jadilah, pasar derivatif menjadi sebesar USD 516 triliun.

Betapa besarnya angka itu bisa dilihat dari data BIS berikut ini. Nilai saham dan bond (surat utang atau obligasi) di seluruh dunia hanyalah USD 100 triliun. Total nilai realestat di seluruh dunia (yang di pasar modal) adalah USD 75 triliun. GDP Amerika adalah USD 15 triliun.

Jadi, jangan diingat-ingat tulisan ini. Pertama, meski sudah disederhanakan penulisannya, tetap saja ruwet. Kedua, daripada takut sendiri. (*)

[+/-] Selengkapnya...

Friday, October 10, 2008

Saatnya Indonesia Nyalip di Tikungan

Oleh Dahlan Iskan

Tepat sekali langkah pemerintah Indonesia menghentikan perdagangan saham di Bursa Efek Indonesia kemarin. Terlambat sedikit, kita bisa lebih kacau. Inilah saatnya kita mendahulukan nasib bangsa sendiri. Kita tahu, perusahaan asing lagi perlu uang untuk menutup lubang mereka yang dalam di negeri masing-masing. Karena itu, mereka perlu uang cepat. Salah satu caranya adalah menjual apa saja yang dimiliki, termasuk yang di Indonesia. Dan, yang paling cepat bisa dijual adalah saham di bursa.

Saking banyaknya pihak yang mau menjual saham itulah yang mengakibatkan harga saham jatuh 10 persen kemarin. Mereka berani menjual murah, menjual rugi, asal bisa segera mendapat uang cash. Sebenarnya sekaranglah saatnya membeli kembali saham Indosat, Telkomsel, atau apa pun, tapi kita belum cukup kaya untuk melakukan itu.

Penutupan sementara bursa itu juga penting untuk mengamankan perusahaan-perusahaan nasional kita. Yakni, perusahaan yang terlibat utang besar di luar negeri yang jaminannya berupa saham. Misalnya, Bumi Resources dan enam perusahaan milik Bakrie Group lainnya. Termasuk kebun sawitnya yang besar. Kalau harga sahamnya terus merosot, nilai jaminan utangnya langsung tidak cukup. Dalam keadaan seperti ini sangat mungkin terjadi hostile take over! Sangat bisa terjadi, tiba-tiba saja tambang batu baranya yang begitu besar disita dan menjadi milik asing. Demikian juga perkebunan sawitnya.

Karena itu, bursa tidak perlu cepat-cepat dibuka kembali. Apalagi, kalau itu hanya karena tekanan asing. Harus dihitung benar untung ruginya bagi kepentingan nasional. Memang Bumi Resources adalah milik Bakrie, tapi batu baranya dari bumi Indonesia (Kaltim). Kita juga berkepentingan mengusahakan Bakrie agar tetap jaya -antara lain agar bisa menuntaskan kasus Lapindo di Sidoarjo. Apalagi, Bakrie pernah jadi contoh perusahaan yang hancur oleh banyaknya utang saat krisis moneter 1997 yang tiba-tiba mampu bangkit menjadi orang terkaya di Indonesia. Jangan sampai kini menjadi korban hostile take over asing akibat tidak mampu membayar utang! Nilai saham Bakrie kini memang tinggal 20 persennya. Sangat mudah bagi asing untuk mengambil secara hostile!

Kini negara yang paling mempertuhankan pasar bebas pun hanya berpikir menyelamatkan negara masing-masing. Apalagi, negara yang masih miskin seperti kita. Saya cukup bangga atas ketegasan dan kecepatan pemerintah mengambil langkah ini. Penduduk kita cukup besar untuk bisa menjadi pasar kita sendiri. Kita masih bisa menanam jagung!

Sampai kemarin memang baru Rusia dan Indonesia yang mengambil langkah menghentikan perdagangan saham. Islandia (Iceland) sudah lebih dulu membuat keputusan mem-peg mata uangnya ke dolar karena terjun bebas. Kemarin sore WIB, Inggris membuat keputusan yang lebih konsepsional daripada Amerika. Delapan bank raksasa direkapitalisasi Rp 700 triliun dengan syarat-syarat tertentu. Misalnya, harus menjaga kelangsungan fungsi utama bank, termasuk memberi pinjaman kepada pengusaha yang bergerak di sektor riil. Di dalamnya termasuk bank-bank kelas dunia, seperti HSBC, RBS, dan Standard Chartered. Inggris yang dulu pelopor swastanisasi, kini di arah sebaliknya.

"Ini jalan keluar yang tujuannya memulihkan kepercayaan, sekaligus memperkukuh sistem perbankan," ujar Perdana Menteri Gordon Brown.

Menurut Brown, dalam mengatasi kesulitan yang begitu serius, jalan keluarnya memang harus komprehensif. Juga harus kreatif dan tidak sekadar dogmatis. Menaikkan suku bunga seperti yang dilakukan Bank Indonesia, menurut saya, termasuk yang hanya dogmatis dan kurang kreatif. Yakni, satu dogma bahwa untuk menahan orang agar tidak ramai-ramai menukarkan uang ke dolar haruslah memberi rangsangan kepada pemegang rupiah. Ya, menaikkan suku bunga tadi. Tapi, dampak yang lain sangat berat. Untung naiknya hanya kecil (25 basis poin).

Kita punya batu bara bermiliar ton dan hasil bumi lain. Ini yang harus diamankan lewat kebijaksanaan nasional. Mestinya, masih lebih baik nasib kita yang memiliki hasil bumi tersebut daripada negara yang hanya punya kertas saham atau commercial paper dengan nilai yang hancur saat ini.

Kita memang tidak punya cadangan saham di mana-mana. Karena itu, jangan pula yang masih kita punya itu hilang. Saatnya nasionalisme dipertahankan. Sambil lihat-lihat perkembangan dunia. Kalau kita pintar, kita bisa menyalip di tikungan!(*)

[+/-] Selengkapnya...