Tuesday, August 26, 2008

Kemajuan Negara Seribu Tuhan (5-Habis)

Bangalore Jadi Model Kota Baru Gandhiabad
Oleh: Dahlan Iskan

KOTA terakhir yang saya kunjungi adalah Bangalore. Inilah kota yang tiba-tiba sangat terkenal di peta dunia mutakhir. Tak lain karena di kota bagian selatan India itu menjadi pusat outsourcing dunia. Banyak perusahaan Amerika atau Eropa yang punya kantor di situ tanpa mereka sendiri tahu seperti apa bentuk kantornya, kecuali lewat internet.

Misalkan Anda menelepon ke satu perusahaan terkenal di Amerika. Atau menanyakan suatu produk perusahaan Amerika. Atau bahkan menanyakan penerbangan Anda dengan pesawat Amerika. Lalu, ada orang yang menerima telepon di sana dalam bahasa Inggris. Jangan selalu Anda sangka bahwa Anda sedang berbicara dengan seseorang di Amerika. Sangat mungkin, penjawab telepon Anda itu orang di Bangalore. Atau Anda memesan software. Pesannya ke Amerika dan software Anda dikirim dari Amerika. Sebenarnya, sangat mungkin pesanan Anda itu masuk ke Bangalore dan menerimanya pun dari Bangalore tanpa singgah sama sekali di Amerika.

Kota tersebut mendapatkan banyak julukan yang membanggakan: Plug and Play City, World Teleport City, World IT Hub, atau bahkan Silicon Valley India. Sayang, ketika tiba di Bangalore lagi hari libur (dan karena itu tidak bisa masuk ke kompleks pusat outsourcing ini), tapi saya menjadi tahu "bentuk fisik"-nya.

Di pinggir kota berpenduduk 4,5 juta itu, terdapat satu kompleks seluas 20 hektare yang penuh dengan gedung baru sangat modern. Puluhan gedung kaca saling terhubung oleh koridor. Halamannya sangat luas dengan pertamanan sekelas Singapura. Itulah kompleks gedung setinggi 12 lantai penampung 20.000 tenaga kerja yang semuanya profesional. Kompleks tersebut hidup terus 24 jam karena harus melayani banyak negara dengan jam yang berbeda. Siang di Amerika atau Eropa berarti malam di India. Karena itu, jaringan listriknya independen dan berlapis tiga.

Kompeks tersebut sangat mencolok di Bangalore karena sangat kontras dengan keadaan umum kota itu. Tapi, terasa bahwa kompleks tersebut telah menjadi pendobrak perubahan besar-besaran di Kota Bangalore. Di tengah-tengah kondisi kota yang masih seperti Palembang (Sumatera Selatan), kini juga muncul banyak proyek baru. Jalan-jalannya sedang diperlebar. Ring road sedang giat-giatnya dibangun. Gedung-gedung baru mulai bermunculan. Debu masih beterbangan karena pembongkaran bagian-bagian lama sedang berlangsung. Sudah banyak toko dan warung yang dipermak wajah depannya.

Bahkan, di sekitar kompleks itu, kini dibangun puluhan gedung apartemen pencakar langit, pusat-pusat outsourcing baru, proyek-proyek serupa, hotel-hotel bintang lima, dan pusat hiburan. Saya memperkirakan, sepuluh tahun ke depan Bangalore sudah berubah menjadi kota modern. Bandaranya, yang baru saja selesai dibangun tiga bulan lalu, tidak terlalu besar, tapi berselera amat tinggi. Kelihatan sekali bahwa desain bandara itu disesuaikan dengan "merek baru" Kota Bangalore sebagai kota teknologi informasi modern.

Hadirnya pajangan tas Louis Vuitton dalam ukuran gigantik di lobi bandara itu menambah tingginya selera penampilannya. Tas LV tersebut bertengger di lobi dengan ukuran sekitar 6 x 8 meter dan tebal 1 meter. Semua orang yang lewat lobi langsung terpana karena pajangan itu. Tidak sedikit yang kemudian berhenti, memandangnya dengan kagum setengah bermimpi untuk memiliki aslinya. Tapi, yang lebih banyak lagi hanya memilih berfoto dengan latar belakang LV gigantik itu.

Semua sukses pasti ditiru. Apalagi sukses besar seperti yang terjadi di Bangalore. Bukan saja sukses materi, tapi juga harga diri dan nama besar. Tak ayal bila jalan kemajuan yang ditempuh Bangalore segera menjadi model bagi kota lain yang ingin mengejar. Salah satunya di Gujarat. Negara bagian ini terang-terangan ingin menjadi Bangalore lain yang lebih siap. Kota Ahmadabad, kota terbesar di Negara Bagian Gujarat, menyediakan infrastruktur yang tidak kalah hebatnya. Bandara barunya juga sudah selesai dengan citranya yang juga modern. Jaringan komunikasinya juga dirombak. Bahkan, Gujarat menyediakan satu kota baru yang dinamakan Gandhiabad (Kota Gandhi).

Itulah kota baru yang dijadikan ibu kota Negara Bagian Gujarat. Kotanya memang masih sepi, tanahnya masih banyak yang kosong, tapi kesiapannya sangat baik. Semua jalannya kembar dengan sempadan yang sangat lebar dan hijau di kanan kirinya. Jalan-jalan seperti itu tidak hanya ada di bagian kota yang sudah dihuni, tapi juga di seluruh kota yang belum berpenghuni sama sekali. Perencanaan tata kotanya juga sangat hebat. Tidak ada bangunan yang dekat sempadan, apalagi dekat jalan. Setiap pertemuan jalan selalu berbentuk bundaran yang luas. Garis tengah kota baru ini 40 kilometer sehingga memang sebuah kota baru yang sangat luas. Berada di Gandhiabad seperti tidak sedang berada di India. Memang baru ada satu kompleks outsourcing di kota ini, tapi pemasaran masih jalan terus. Kota ini mengambil nama Mahatma Gandhi karena Gandhi memang lahir di Gujarat dan berumah di Kota Ahmadabad. Saya sempat mengunjungi rumahnya yang kini menjadi satu dengan kompleks Museum Gandhi yang tertata baik.

Semangat bersaing untuk saling lebih maju di banyak negara bagian/kota sedang terjadi juga di India. Saya termasuk yang percaya bahwa dalam 15 tahun ke depan, India akan menjadi negara Hindu yang sangat maju -meski saya juga percaya masih jauh untuk dikatakan bisa mengalahkan Tiongkok. Tentu banyak yang berkepentingan agar India bisa maju seperti itu. Kalau India maju, 600 juta orang miskin akan mempunyai harapan untuk keluar dari penderitaannya. Demikian juga, bagian utara negeri itu yang amat indah seperti Kashmir akan bisa terselamatkan dari kerusakan lingkungan oleh kemiskinan.

Saya membayangkan, kalau India benar-benar bisa makmur kelak, kota seperti Shrinagar di Kashmir akan langsung mengalahkan Hangzhou! Kota itu memiliki danau yang mestinya tidak kalah dengan Xihu di Hangzhou. Pemandangan di sekitarnya juga fantastis. Bandaranya yang baru memang sedang diselesaikan. Tapi, untuk bisa membuat danau itu tertata seperti di Hangzhou, masih ada tanda tanya besar kapan akan bisa dipikirkan. Apalagi kekumuhan kota yang mengitarinya sangat kontras dengan modernisasi Kota Hangzhou. Tapi, melihat alam Shrinagar, potensi itu luar biasa hebatnya. Problem danau Shrinagar rasanya masih sama dengan Danau Toba kita.

Kalau saja India makmur kelak, Taj Mahal akan langsung bersaing ketat dengan Kota Terlarang di Beijing. Pura-puranya yang sangat banyak dan indah-indah akan sejajar atau mengalahkan daya tarik kuil-kuil yang kini jadi objek unggulan di Tiongkok. Lereng Gunung Himalaya-nya bisa ditata oleh kemakmurannya dan langsung akan menjadi seindah atau lebih indah daripada kawasan di Kunming atau Jiu Zhai Gou di Pegunungan Sichuan.

Jalan demokrasi di India berikut konsep otonominya sudah menemukan bentuk. Tinggal menunggu apakah bentuk itu akan menjadi wujud yang nyata atau meleleh lagi. Memang masih ada ratusan partai, tapi umumnya partai lokal. Partai nasionalnya tinggal tujuh saja. Bongkar pasang koalisinya juga sudah sangat rumit sehingga partai api sudah bisa berkoalisi dengan partai bensin tanpa terjadi kebakaran. Partai air sudah biasa ganti berkoalisi dengan partai kertas tanpa membuat si kertas basah.

Kini negara bagian juga lagi berlomba bikin jalan tol atau jaringan kereta bawah tanah. Kota Hyderabad di pedalaman pun kini sedang punya proyek kereta bawah tanah. Kota itu memang tidak punya uang, tapi berhasil mengundang investor. Kota Madras (kini disebut Chennai) punya jalan tol yang terasa sekali "dipaksakan". Jalan menuju luar kota dan pusat rekreasi di pantai terpanjangnya itu sebenarnya, semula, jalan umum biasa. Tapi, karena sempadannya cukup lebar dan belum dijarah penghuni liar, jalan itu diperlebar. Yang melebarkannya adalah investor.

Maka, jadilah jalan tersebut jalan tol lengkap dengan pintu gerbang tolnya. Panjangnya 30 kilometer. Karena asal mulanya jalan umum biasa, jalan tol itu menjadi unik: lebar dan mulus, namun banyak rumah di kanan-kirinya. Sepeda motor, gerobak, pejalan kaki, dan sepeda-pancal boleh lalu-lalang di jalan ini. Yang penting, Madras bisa menyelesaikan kemacetan yang seperti leher botol di situ. Memang jalan tersebut menjadi jalan tol, tapi tarifnya lebih murah daripada jalan tol yang normal. Demokrasi yang ruwet tidak menghalangi Madras punya jalan tol dalam kota. Apa pun bentuk jalan tol itu.

Memang, parlemen di India akhirnya sangat mendukung kemajuan itu. Berbagai landasan hukum yang diperlukan disetujui untuk dilaksanakan. UU jalan tolnya disiapkan DPR yang kemudian bisa melindungi pemerintahnya dari banyak gugatan.

Bagaimana kita di Indonesia? Di periode yang lalu, pemerintah kita juga cukup pintar memanfaatkan peluang akan berakhirnya masa jabatan parlemen. Saat berada dalam hari-hari akhir seperti itu, anggota parlemen sedang diburu waktu yang sempit: mau mencari pensiun dunia atau pensiun akhirat. Masa seperti itu sebenarnya bisa dimanfaatkan dengan mengajak mereka memforsir pengesahan beberapa undang-undang yang penting dan mendasar.

Kali ini kita bisa mengajak parlemen untuk kali yang terakhir mengabdi bagi kepentingan jangka panjang bangsa. Sahkanlah sekarang juga, sebelum periode DPR ini berakhir, berbagai UU yang bisa memperlancar pelaksanaan pembangunan jangka panjang Indonesia. Sahkanlah UU pajak, UU jalan tol, UU pelabuhan, dan berbagai UU penting lainnya. Itu akan menjadi bekal yang amat mendasar bagi pemerintah yang akan datang (siapa pun presidennya) untuk, begitu terpilih, bisa langsung lari cepat. Jangan sampai untuk yang akan datang itu, masa jabatan presiden yang lima tahun habis hanya untuk persiapan.

Sayang, pemerintah sekarang mungkin tidak mau lagi menyogok anggota parlemen sampai Rp 100 miliar. Maka, saya pun ragu DPR tertarik untuk mengesahkannya. (*)

[+/-] Selengkapnya...

Monday, August 25, 2008

Kemajuan Negara Seribu Tuhan (4)

Momentum Mengikis Kasta dengan Ekonomi
Oleh: Dahlan Iskan

KAPANKAH sistem sosial yang masih berkasta-kasta akan berakhir di India? Sehingga, kemajuan ekonominya yang pesat beberapa tahun terakhir ini bisa lebih cepat lagi?

Sistem kasta memang masih sangat terasa dan menghambat kemajuan di India. Namun, sebenarnya sudah banyak juga berubah. Di kota-kota besar sudah lebih tidak terasa. Tapi, di kota kecil, apalagi di pedesaan, perubahan terjadi seperti kalau saya membaca email dalam bahasa Mandarin: sangat lambat.

Kemajuan telah terbukti bisa membawa harapan. Harapan membawa optimisme warganya. Kemajuan, harapan, dan optimisme ketika menjadi satu akan melahirkan percepatan kemajuan. Sistem kasta pun kelak akan terlindas oleh kemajuan yang kian cepat itu. India kelihatannya sudah mencapai momentum itu.

Momentum yang pernah kita capai pada 1970-an yang telah membawa Indonesia ke kemajuan di era 1980-an, tapi kemudian hancur akibat krisis moneter. Lalu momentum itu muncul lagi pada 2000. Tapi, hilang lagi dalam waktu cepat.

Kini kelihatannya gejala momentum itu akan muncul lagi -kali ini mudah-mudahan tidak akan hilang lagi. Momentum yang sama didapat Tiongkok pada 1980 yang kemudian bisa dipegang terus tanpa pernah hilang sampai sekarang. Tiongkok bisa jadi akan kehilangan momentum itu kalau harga minyak dunia yang sudah sempat mencapai USD 146 per barel itu terus melejit hingga USD 200 per barel. Tapi, Tiongkok kelihatannya terhindar dari kehilangan momentum itu karena tanda-tanda ke arah harga minyak yang tak terkendali sudah tidak ada lagi.

Perjuangan menghilangkan sistem kasta memang sudah dilakukan tidak habis-habisnya. Termasuk oleh kalangan Hindu sendiri. Kian lama juga kian banyak kuil yang memperbolehkan kasta terendah masuk ke dalamnya. Agama Hindu Sai Baba, yang di Indonesia banyak juga pengikutnya, termasuk yang tidak setuju adanya pembedaan manusia berdasar kasta. Pemberontakan demi pemberontakan juga terjadi meski memang cukup jarang. Sejak 1700 sampai 1900 terjadi 13 kali pemberontakan besar dari kasta terbawah.

Setelah zaman kemerdekaan gerakan antikasta kian besar. Apalagi setelah 1980-an. Kalau selama 40 tahun setelah kemerdekaan fokus masyarakat India di bidang politik, setelah 1980-an beralih ke soal kasta.

Meski begitu, kalau dilihat apa yang terlihat sekarang, hasil semua gerakan itu masih kurang memadai. Memang ketua Mahkamah Agung India sekarang dijabat seorang Dalit, tapi masih sangat sedikit yang bisa mencapai level atas. Sistem kasta itu rupanya sudah sangat mengakar di tengah masyarakat sehingga begitu sulit menghapuskannya. Padahal, UUD India yang dilahirkan pada 1950 sudah menghapuskan sistem kasta secara resmi.

Yang disebut kasta itu ternyata bukan hanya empat (Brahma, Ksatria, Waisya, dan Sudra) seperti yang kita pelajari dalam buku sejarah di sekolah. Masih ada satu lapisan lagi yang masuk kasta Sudra pun tidak layak. Kasta ini dulu tidak bernama -setidaknya dirinya sendiri tidak pernah memberi nama. Tapi, karena orang di lapisan atasnya harus menyebut mereka, maka nama tidak resmi kemudian lahir.

Banyak sekali sebutan untuk mereka. Kian lama rupanya kian perlu menyeragamkankannya. Maka, disebutlah mereka kaum jembel. Kalangan pejuang dan intelektual modern lantas menyebut mereka ''kalangan tidak tersentuh kemanusiaan''. Mahatma Gandhi, sebagai pejuang utama bangsa India, menyebut mereka kaum harijan alias ''anak-anak Tuhan''. Tapi terakhir, mereka sendiri, dengan nada memberontak meresmikan nama kelompok mereka dengan sebutan Dalit.

Kalau dulu lapisan atas menyebut nama kelompok mereka itu dengan agak berbisik, kini kelompok itu sendiri yang justru menggunakannya dengan terang-terangan, resmi, dan lantang. Karena sistem demokrasi memungkinkan, belakangan lahir pula partai resmi kelompok ini: Partai Dalit.

Pejuang penghapusan kasta di India yang paling hebat adalah: B.R. Ambedkar. Saking kerasnya orang ini, sampai-sampai Gandhi yang menyebut mereka sebagai ''anak-anak Tuhan'' pun dia kecam dan dia musuhi habis-habisan. Sampai ke forum internasional kala itu. Dengan memberi sebutan itu, kata Ambedkar, sama saja Gandhi meresmikan terbentuknya satu kasta lagi di bawah kasta Sudra dengan nama ''kasta anak-anak Tuhan''.

Kenyataannya sekarang, 70 persen umat penganut Kristen atau Katolik di India berasal dari kalangan Dalit. Masih terus menjadi pembicaraan apakah hal itu karena Kristen lebih bisa menerima mereka, atau memanfaatkan mereka atau mereka sendiri yang lebih homing berada di sana. Yang masuk Islam atau Buddha juga minim. Mayoritas Dalit yang jumlahnya sekitar 200 juta, masih tetap Hindu. Mereka menyebutkan di Kristen dan Islam, ternyata dalam kenyataan masyarakatnya juga masih menganut kasta, hanya dengan istilah berbeda. Setidaknya begitulah pengataman Ambedkar.

Sampai sekarang dari 156 bishop di sana hanya enam yang dari Dalit.

Ambedkar sendiri lahir dari keluarga Dalit. Sejak kecil dia diajari membaca kitab klasik Mahabharata dan Ramayana. Hanya, bapaknya jadi tentara penjajah Inggris. Dengan posisi bapaknya itu, Ambedkar bisa masuk sekolah. Hanya, teman-teman dan gurunya tetap tidak bisa menerima kalau Ambedkar duduk bersama mereka di dalam kelas. Maka bocah Ambedkar mengikuti pelajaran dari luar tembok.

Ambedkar cilik juga tidak bisa minum. Peralatan minum seperti gelas dan keran tidak boleh digunakan untuk orang Dalit. Kalau toh dia harus minum, harus ada seseorang yang mengucurkan air dari atas. Ini agar tangan dan mulut seorang Dalit tidak menyentuh gelas atau ujung keran itu. Dengan cara minum seperti itu, kalau mulut seorang Ambedkar tidak berhasil menangkap air, kesempatan minum pun hilang. Dan tak terulang lagi.

Ambedkar rupanya ''anak Tuhan'' yang pandai dari sononya. Meski hanya belajar secara mengintip dari luar kelas, dia selalu lulus dengan amat baik. Mulai SD sampai SMA. Ketika Ambedkar masuk universitas di Bombay, dia anak Dalit pertama yang masuk perguruan tinggi. Penjajah Inggris dengan beasiswa yang minim lantas mengirimnya ke sekolah lebih tinggi di Inggris. Lalu dapat beasiswa juga ke Amerika. Dia belajar apa saja: hukum, sosiologi, bahkan kemudian keuangan. Kembali ke India dia menghadapi kenyataan sosial di masyarakatnya: dikawinkan dengan gadis berumur 9 tahun yang sudah dipersiapkan keluarganya. Tahun itu juga memperoleh anak.

Ambedkar menjadi pejuang hebat untuk kaumnya. Dia membenci apa saja yang ada di sistem sosial India saat itu -awal 1900. Sistem kastanya, sistem keagamaannya, dan bahkan sistem pemerintahannya -meski pemerintah itu yang membuatnya bisa sekolah di Inggris. Di Inggris itulah rupanya dia bersentuhan dengan gerakan baru yang memang lagi hangat di seluruh Eropa: ajaran Karl Marx dan terjadinya revolusi Bolsyewik di Rusia.

Bahkan, ketika istrinya berkali-kali minta izin untuk ziarah ke kuil Pandhapur yang menjadi dambaan hidupnya, Ambedkar tetap tidak mengizinkannya. Ambedkar merasa istrinya hanya akan menjadi korban diskriminasi di kuil itu. ''Kelak saya akan bikinkan kuil Pandhapur sendiri,'' katanya kepada istrinya. Sampai istrinya meninggal beberapa tahun kemudian, keinginan ziarah itu tidak terkabul. Kuil yang dijanjikan juga belum terbangun.

Ketika Inggris memberikan kemerdekaan India pada 1947, Ambedkar menjadi ketua tim perumus UUD India. Dia juga pernah jadi ketua parlemen. Fotonya kini abadi menghiasi gedung parlemen India bersama foto Mahatma Gandhi yang pernah dia musuhi itu. Di hari tuanya yang menderita karena diabetes, dia mendalami ajaran Buddha dan resmi masuk agama itu. Kehebohan melanda India karena bersama itu tercatat setengah juta pengagumnya ikut masuk Buddha.

Peristiwa itu pada tahun-tahun berikutnya yang panjang terus memicu ketegangan antara orang Hindu ekstrem dan Buddha ekstrem. Suatu ketika patung Ambedkar tiba-tiba berkalung rentengan sandal jepit. Umat Buddha yang tentu berlatar belakang Dalit tersinggung dan marah. Begitulah ketegangan demi ketegangan masih terus terjadi. Di permukaan maupun di bawahnya.

Namun, dengan demokrasi, semua persoalan menjadi bisa lebih dibuka. Tapi, karena hidup menyebar di banyak negara bagian, mereka tidak kunjung berhasil menang pemilu dan menguasai pemerintahan. Pemilu sistem distrik di India tidak memungkinkan terakumulasinya suara Dalit. Baru tahun lalu Partai Dalit meraih mayoritas di negara bagian Uttarpradesh (bangunan Taj Mahal yang terkenal itu berada di provinsi ini). Maka, kini jabatan menteri besar (setingkat gubernur tapi dengan kekuasaan otonomi yang jauh lebih besar) dipegang tokoh Dalit. Wanita pula. Namanya Mayawati.

Mayawati sebenarnya pernah menjadi presiden di negara bagian dengan penduduk hampir 200 juta jiwa itu (hampir sebesar Indonesia) tiga tahun lalu, tapi hanya sebentar. Tidak sampai satu tahun. Mayawati dijatuhkan lawannya dengan tuduhan korupsi. Kini posisi Mayawati lebih kukuh. Namanya lebih populer (dalam pengertian termasuk membuat heboh) setelah dia mengambil putusan ini: mengangkat Ambedkar sebagai pahlawan resmi negara bagian Uttarpradesh. Belum cukup dengan itu, Mayawati mengangkat Sidharta Gautama -Tuhan yang mahaesa umat Buddha- juga sebagai pahlawan resmi.

Salah satu pemikiran positif kini juga mulai berkembang di India. Para pejuang Dalit yang mulai masuk kalangan politik atas, sudah mau mengubah strategi perjuangan. Mereka umumnya sepakat tidak perlu lagi secara vulgar memperjuangkan kaum Dalit. Hal itu hanya akan sangat sensitif untuk kasta yang di atas yang secara riil masih memegang sistem sosial yang berlaku. Kini para pejuang Dalit hampir sepakat membungkusnya dengan ''memperjuangkan golongan miskin dari kasta apa pun''. Dengan demikian, toh kalau berhasil, yang akan paling terangkat adalah kaum Dalit.

Saya kira strategi baru itu memang lebih tepat. Sebab, di luar Dalit masih ada 300-an subkasta yang tergolong sangat miskin. Jumlah mereka ini saja mencapai sekitar 500 juta orang!

Sampai sekarang para peneliti, Barat dan Timur, belum berhasil mengungkap dan menyepakati bagaimana sejarah lahirnya sistem kasta dulu. Dari berbagai literatur yang saya baca, termasuk yang saya pakai untuk bahan-bahan serial tulisan saya ini, tidak ada satu pendapat yang amat kuat mengenai asal-usul sistem kekastaan ini. Sistem empat kasta yang serupa sebenarnya terjadi juga di Iran (agamawan selalu dari kelompok Athravan, militer dari kelompok Rathaestha, pedagang dari kelompok Vastriya dan pekerja/petani dari kelompok Huiti), tapi mengapa hasilnya berbeda.

Ada yang menyebut awal mula terjadinya kasta-kasta itu akibat masuknya orang-orang yang berdarah Indo-Arya ke India dari wilayah barat laut. Inilah kelompok yang kemudian menempatkan diri sebagai lapisan teratas. Kelihatannya agak masuk akal karena selama itu pemilik darah Arya selalu merasa dirinyalah golongan tertinggi di dunia ini. Tapi, ada pendapat bahwa sebelum kedatangan mereka pun sebenarnya sudah ada sistem kasta itu di India Selatan, setidaknya dua kasta terbawah.

Penjajahan Inggris yang panjang (lebih dari dua abad) di India ternyata tidak bisa mengubah sistem ini. Bahkan, malah semacam meresmikannya karena ilmu Barat seperti statistik penduduk memerlukan penyebutan resmi. Bahkan lagi, dalam sistem penjajahan itu, menjadi resmilah bahwa kasta tertentu sama dengan pekerjaan tertentu.

Kini kita menyandarkan harapan pada percepatan kemajuan ekonomi akan mempercepat hilangnya sistem kasta itu. Setidaknya ''menyembunyikannya'' ke bawah karpet, sebagaimana di bagian-bagian lain di dunia ini, termasuk di masyarakat kita. Bukankah sikap menggolong-golongkan orang berdasar tuan, pembantu, pegawai, pedagang, dan les miserables (kaum jembel) sebenarnya masih terus terjadi sampai sekarang -termasuk di sekeliling kita sendiri?

[+/-] Selengkapnya...

Sunday, August 24, 2008

Kemajuan Negara Seribu Tuhan (3)

Rapuh di Modal Sosial, Kuat "Tanaman Keras"
Oleh: Dahlan Iskan

Akankah India menjadi bukti dari tesis ''demokrasi dulu baru kemudian makmur?'' Artinya, apakah tanda-tanda akan terjadinya kemajuan pesat sekarang ini buah dari demokrasinya yang sudah dia jalani selama 60 tahun? Akankah India jadi bukti bahwa untuk berdemokrasi tidak perlu nunggu makmur dulu seperti yang terjadi di Taiwan, Korea, dan kemungkinan Tiongkok nantinya?

Untuk menjadi maju seperti sekarang, Tiongkok memang perlu menderita dalam sistem komunisme selama 40 tahunan. Demikian juga, untuk bisa mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi seperti belakangan ini, India perlu menderita dalam sistem demokrasi murninya selama 60 tahunan.

Kini, Tiongkok memang sudah kelihatan lebih maju 20 tahun lebih cepat dari India. Tapi, Tiongkok masih harus melewati satu ujian: bagaimana bisa melewati masa transisi ke bentuk demokrasinya kelak. Apakah akan lancar sebagaimana di Taiwan dan Korea? Atau akan seperti Indonesia yang prosesnya sangat ''keras'' dan menghabiskan waktu 10 tahun?

Saya sendiri memperkirakan masa transisi ke demokrasi itu akan bisa dilewati Tiongkok dengan soft landing. Ibarat kungfu, Tiongkok akan punya banyak jurus mabuk sekali pun. Proses menjadi demokrasi di tengah masyarakat yang sudah lebih makmur akan lebih lancar karena rakyatnya sudah lebih dewasa. Ibarat main kungfu pula, kelasnya mudah naik karena fisiknya sudah sangat baik.

Karena itu, saya memperkirakan dalam 15 tahun ke depan Tiongkok sudah akan menjadi negara demokrasi. Yakni, setelah Tiongkok berhasil membangun pedesaannya yang sudah dimulai sejak lima tahun yang lalu. Memberikan demokrasi sekarang, kelihatannya dianggap masih rawan karena kesenjangan kota-desa, timur-barat, pantai-pedalaman, dan kaya-miskin masih sangat lebar. Indeks Gini Tiongkok masih berada di tingkat 4,6. Saya memperkirakan Tiongkok akan membuka sistem demokrasinya setelah indeks Gini-nya mencapai 3,8 atau 4.

(Indeks Gini adalah tolok ukur untuk melihat tingkat kesenjangan kemakmuran penduduknya. Kian kecil angkanya, kian baik tingkat pemerataannya. Indeks Gini Inggris 3,1 dan yang terbaik Swedia 2,3. Memang, indeks Gini bukan satu-satunya ukuran kebaikan, karena bisa saja di suatu negara indeks Gini-nya bagus karena masih sama-sama miskin. Indeks Gini India dan Indonesia sama: 3,6)

India tidak perlu lagi melewati proses tersebut. Tapi, India telanjur ketinggalan jauh. Itu bukan berarti India tidak punya persoalan besar. India masih harus menghadapi ujian berat: apakah teori ''bahwa air itu pasti menetes'' (trickle down effect theory) akan berjalan baik di India. Artinya, apakah uang yang beredar di lapisan atas yang mulai banyak yang kaya itu juga bisa menetes cukup deras ke bawah. Apakah jari-jarinya sangat rapat, sehingga air yang di telapak tangan itu tidak menetes sama sekali. Maksudnya, apakah dalam proses kemajuan ini, tetap saja yang kaya akan menjadi semakin kaya, sehingga kesenjangannya dengan yang miskin kian melebar.

Bagaimana dengan bidang sosialnya? Sangat menarik membandingkan India dengan Tiongkok. Bahkan, saya menarik kesimpulan modal sosial-lah (social capital) yang akan membedakan capaian kemajuan di dua negara. Di Tiongkok, social capital-nya luar biasa kuat. Wanita di Tiongkok sama produktifnya dengan laki-laki.

Itu antara lain hasil dari doktrin Mao Zedong. Misalnya, wanita harus memakai celana panjang (soal di dalamnya terserah masing-masing) dan harus mengenakan baju seperti laki-laki. Juga harus angkat senjata dan memegang alat kerja. Rambutnya pun diatur: harus dikepang dua. Produktivitas wanita itulah yang tiada duanya dan kemudian menular ke Vietnam.

Di Tiongkok, konflik ras, keyakinan, dan wilayah hampir tidak ada. Fleksibilitas berpikirnya seperti gerakan tai chi. Peradabannya juga sangat tua, termasuk dalam peradaban baca-tulis (ingat: kertas ditemukan di Tiongkok).

Di India, social capital-nya kalah jauh. Wanitanya masih jauh tertinggal. Konflik antar keyakinan masih rawan. Bukan berarti India tidak punya kekuatan. Peradaban India juga sangat tua, termasuk dalam baca-tulis (perguruan tinggi pertama di dunia adalah di India). Hasil keseriusannya di bidang pendidikan kini sudah mulai berbuah. Hampir semua orang India bisa berbahasa Inggris, sesuatu yang belum terjadi di Tiongkok. Berkahnya: kini India menjadi negara No 1 di dunia dalam penerimaan hasil dari warga mereka yang bekerja di luar negeri. Tiongkok hanya nomor 3, jauh setelah Meksiko. Tahun lalu saja, TKI-nya (tenaga kerja India) mengirim uang ke kampung halamannya sebesar Rp 250 triliun! (USD 27 miliar). Maklum, tenaga kerja India adalah dari kalangan terdidik.

Memang, meski negara miskin, India sangat memperhatikan pendidikan. Sekolah negeri di sana belajar sampai pukul 4 sore (Sabtu-Minggu libur). Makan siang siswanya ditanggung negara (pemda), sedangkan biaya pendidikannya ditanggung pusat. Semua gratis: buku-buku, peralatan tulis, pakaian seragam tiga setel setahun, sepatu, dan fasilitas olahraga. Gurunya, meski gajinya rata-rata dengan di Indonesia, mendapat perumahan dengan listrik dan air dibayar negara.

Itulah hasil tanaman keras di India. Panennya lama (50 tahun), tapi begitu panen hasilnya banyak, tidak pernah berhenti dan tidak perlu menanam yang baru di setiap musim. Bukan saja uang dari TKI yang Rp 250 triliun itu akan terus meningkat (tiga tahun lalu baru separonya), tapi buah dari tanaman keras tersebut juga berupa kukuhnya fondasi kemajuan yang diraih sekarang. Dengan ''tanaman keras'' itu, India jadi punya modal sosial yang siap menjadi tonggak kemajuannya sekarang ini.

Di samping soal wanita, India juga masih punya persoalan besar dalam menyediakan social capital satu ini: sistem kasta di masyarakatnya. Sebagai negara demokrasi yang sudah berumur 60 tahun, ternyata India belum bisa menghilangkan nilai kekastaan itu. Bahkan, di bawah kasta keempat (Sudra), masih ada satu lapisan masyarakat lagi yang disebut ''tidak berkasta''. Itulah golongan yang kemudian disebut Dalit (mudah-mudahan kata tulalit tidak diambil dari sini), satu golongan yang tidak ada yang mau menyentuhnya. Karena itu, mereka itu juga disebut untouchable society. Mahatma Gandhi menghaluskannya dengan sebutan anak-anak Tuhan.

Akankah sistem demokrasi India, kalau terus konsisten, akan juga bisa menyelesaikannya? (bersambung)

[+/-] Selengkapnya...

Saturday, August 23, 2008

Melihat Kemajuan Negara Seribu Tuhan (2)

Diserang 320 Gugatan, Proyek Tol Berlanjut
Catatan Dahlan Iskan

Bagaimana negara berkembang dengan demokrasi yang sangat ruwet seperti India bisa membangun jalan tol? Bukankah mestinya amat sulit? Rupanya, India sudah biasa dengan keruwetan, sehingga lama-lama menemukan juga solusinya. Buktinya, dalam delapan tahun terakhir ini saja India sudah berhasil membangun jalan tol sepanjang 5.700 km.

Itulah jalan tol tahap pertama di India. Impian yang sejak 15 tahun lalu dibayangkan dan baru kali ini terwujudkan.

Jaringan jalan tol itu sudah benar-benar selesai akhir tahun lalu. Inilah contoh dari India. Begitu membangun langsung sangat panjang. Membelah daratan India yang sangat luas itu mulai utara (New Delhi) ke pojok barat laut (Mumbai), terus ke selatan (Bangalore) ke pojok tenggara (Madras), ke tengah (Hyderabad), ke pojok timur laut (Kolkata), balik ke utara (New Delhi). Jaringan jalan tol itu lantas mirip kerangka layang-layang. Kini mulai pembangunan tahap kedua sepanjang 7.800 km yang menghubungkan kota-kota besar itu dengan kota-kota sedang di sekitarnya.

Apakah sebagai negara berkembang yang sangat demokratis India tidak mengalami keruwetan seperti di Indonesia? Sebenarnya, ya, ruwet juga. Misalnya, saat membangun jalan tol dari Kota Bangalore ke Mysore. Jarak kedua kota itu sejauh 250 kilometer, mirip jarak Surabaya-Probolinggo-Jember di Jawa Timur.

Sebelum mulai membangun pun kontraktornya digugat para pemilik tanah dan LSM. Bukan hanya satu atau dua gugatan ke pengadilan yang merepotkannya. Total ada 320 jenis gugatan! Kalau gugatan sebanyak itu dilayani seperti di Indonesia, untuk menunggu keputusan finalnya saja belum selesai dalam 100 tahun. Kita membayangkan kalau untuk 250 kilometer saja kontraktor menerima 320 gugatan, berapa ribu gugatan yang masuk ke pengadilan untuk 5.700 kilometer jalan tol itu.

Namun, di India sudah sangat berbeda sekarang. Meski gugatan ke pengadilan jalan terus, pembangunan jalan tol juga tidak berhenti. Koran juga tidak henti-hentinya memberitakan gugatan itu, tapi tidak berpengaruh pada penyelesaian jalan tol. Beberapa hal yang dipersoalkan, misalnya, rusaknya lingkungan dan banyaknya tanah yang berubah fungsi. Ada pihak penggugat yang jalan pikirannya begini: untuk jalan tol sepanjang 250 kilomter itu menghabiskan tanah 3.500 hektare. Lalu, karena jalan tol itu tidak melewati kota besar, jadinya kurang ekonomis. Maka, dibangunlah lima kota baru di sepanjang jalur jalan tol tersebut. Kota baru ini menghabiskan tanah 7.000 hektare. Begitu banyak tanah yang dimakan jalan tol.

Lalu ada pula yang mempersoalkan begini: pembangunan jalan tol itu hanya untuk menghemat perjalanan dari Bangalore ke Mysore 1,5 jam (dari semula perlu 3 jam). "Apakah penghematan perjalanan yang hanya 1,5 jam itu sebanding dengan hilangnya tanah 8.500 ha?" tanya salah satu gugatan publik itu.

Toh, jalan tol itu selesai juga tahun lalu. Tentu manfaatnya tidak sesederhana "penghematan perjalanan 1,5 jam" itu. Dengan jalan tol tersebut wilayah pedalaman India bagian selatan bisa terhubung dengan kota besar di timurnya (Madras) yang memiliki pelabuhan besar. Apalagi, Madras kini dikenal sebagai Detroit-nya India, karena pabrik mobil terbesar dibangun di sini.

Bahkan, karena jalan tol itu juga nyambung dengan jalan tol ke arah pantai barat (Bangalore-Mumbai), berarti juga terbukanya akses wilayah pedalaman ke pelabuhan pantai barat di Mumbai. Ini sangat penting karena pelabuhan Mumbai (dulu Bombay) merupakan pelabuhan terbesar di India dan kini sedang dimodernisasikan.

Jalan tol di India umumnya dibangun di sebelah jalan lama. Dengan demikian, di sebagian besar jaringan jalan tol India terdapat jalan umum di sebelahnya. Hanya dibatasi pagar besi rendah. Cara ini rupanya ditempuh untuk mempercepat pembebasan lahan. Dengan cara itu hanya perlu pembebasan tanah yang tidak terlalu banyak. Dan lagi, jalan lama memang tidak seberapa berliku. Ini karena perencanaannya di zaman dulu (oleh penjajah Inggris) memang sangat baik. Bukan saja relatif lurus, juga hampir selalu tersedia area sempadan yang sangat lebar di kiri kanan jalan lama itu.

Saya memang terkesan dengan terjaganya sempadan jalan di India ini. Meski negaranya begitu miskin dan penduduknya begitu banyak (1,1 miliar orang saat ini), sempadan jalannya relatif terjaga dari "penjarahan liar". Memang sempadan jalan itu umumnya seperti tanah telantar. Kalau di Indonrsia, barangkali sudah dianggap tanah tidak bertuan. Di India tanah kosong itu terjaga sangat baik. Tidak banyak rumah liar atau tempat usaha liar yang tiba-tiba memenuhi sempadan itu. Ini sangat berbeda dengan pemandangan sempadan jalan dari arah Surabaya ke Mojokerto, atau dari Surabaya ke Malang. Juga di mana saja di seluruh Indonesia yang sempadan jalannya penuh dengan bangunan liar. Akibatnya, perjalanan ke Malang, misalnya, tidak nyaman lagi. Pengguna jalan tidak bisa lagi menyaksikan pemandangan indah di kejauhan sana.

Meski begitu demokratisnya, meski begitu miskinnya, dan meski begitu banyak penduduknya, saya menaruh hormat dengan terjaganya sempadan jalan di India. Termasuk di ibu kota New Delhi. Di seluruh kota itu jalannya memang tidak lebar, tapi sempadan jalannya lebih lebar daripada jalannya sendiri. Di kiri dan kanannya. Semua bangunan berada jauh dari jalan. Memang sempadan jalan itu hanya ditumbuhi pohon-pohon yang meskipun sangat hijau, tapi tidak terawat. Tapi, tampaknya ini hanya semata-mata karena India belum punya uang saja. Kelak, kalau India sudah mulai kaya, pasti dengan mudah bisa mempercantiknya.

Rupanya New Delhi memang dijaga agar tidak jatuh menjadi Old Delhi. Biarlah yang "kacau-kacau" cukup di bagian kota lama itu. Luar biasa ruwet dan kumuhnya Old Delhi. Tapi, ya hanya di kota lama itu yang tidak seberapa luas.

New Delhi dijaga agar semaksimal mungkin masih seperti aslinya saat dibangun Inggris lebih 100 tahun lalu. Tuntutan kemajuan dan modernisasi ditampung di kota-kota baru. Gedung-gedung baru yang tinggi dibangun di wilayah baru yang cukup jauh dari New Delhi. Ini rasanya mirip dengan kebijakan Malaysia, yang ketika kota Kuala Lumpur mulai penuh, diputuskan membangun kota baru Syah Alam. Ketika Syah Alam juga mulai penuh, dibangun lagi kota yang lebih baru: Putra Jaya. Dengan demikian, masing-masing kota terjaga akan kemampuan daya tampungnya. Daya tampung penduduknya, suplai airnya, penanganan sampahnya, dan seterusnya.

Di Indonesia, rasanya tinggal satu kota yang terjaga seperti itu. Yakni, Palangkaraya. Di ibu kota Kalteng itu, pemdanya bisa memegang teguh ketentuan izin bangunan. Ruko pun harus dibangun jauh dari jalan. Ruko inilah yang sebenarnya menghancurkan perkotaan di Indonesia. Di semua kota, kecuali Palangkaraya tadi. Bahkan, Denpasar yang indah pun sudah hancur oleh ruko yang dibangun mepet ke jalan itu.

Di New Delhi saya memang mendapat kesan yang lain dari di Madras. Di ibu kota India ini, pembangunan lebih terasa pesat. Di New Delhi saya bisa membenarkan kalau ekonomi India tumbuh pesat sampai 9 persen setahun. Bahkan, bisa seperti 12 persen setahun. Pembangunan jalan layang, gedung baru, kota-kota satelit, apartemen-apartemen mewah terasa cukup banyak.

Namun, juga jangan dibayangkan seperti di Beijing atau Shanghai atau Guangzhou atau bahkan Qingdao dan Dalian. Pembangunan Jakarta rasanya masih lebih seru daripada New Delhi. Dari sini saya, sekali lagi, menarik kesimpulan bahwa masih jauh bagi India untuk mendekati Tiongkok. Semangat orang-orang India untuk maju memang terasa sangat besar. Tapi, tetap tidak sebesar Tiongkok. Secara kasar saja sudah bisa dilihat. Di Tiongkok saya melihat semua proyek baru selalu seperti ingin diselesaikan besok pagi. Pukul 5 pagi (musim salju sekali pun), tenaga kerja sudah sibuk di proyek, termasuk di puncak-puncak bangunan yang belum jadi. Pukul 11 malam mereka baru meninggalkan proyek. Itu pun masih ada beberapa tenaga yang terus bekerja sepanjang malam. Misalnya, bagian angkut-angkut. Mengangkut sisa-sisa pekerjaan dibawa keluar dan mengangkut material yang diperlukan besok ke dalam proyek.

Di India, kehidupan masih berjalan normal, seperti juga di Indonesia. Pekerja proyek baru mulai berdatangan pukul 08.00 dan sudah pulang pukul 17.00. Dari sini saja kita bisa membaca apa yang terjadi di baliknya.

Tapi, setidaknya saya juga belajar bahwa demokrasi ternyata tidak perlu menghalangi pembangunan jalan tol. Bahwa para pengambil keputusannya harus lebih pintar dan banyak akal, itu memang konsekuensinya.

Misalnya saja untuk membangun jalan tol di daerah yang penduduknya padat dan miskin, ada satu kebijakan yang sangat pintar: tanahnya diganti 150 persen dari harga pasar dan salah satu anggota keluarga pemilik tanah dijadikan pegawai negeri. Dengan cara ini, meski pemilik tanah kehilangan sumber hidupnya, ada pengganti sumber hidup yang juga cukup permanen.

Apakah dengan demikian tidak akan ada pembengkakan jumlah pegawai negeri? Teman saya, seorang pengusaha yang sangat aktif memperhatikan pembangunan jalan tol di India ini menjawab: "India kan sangat besar. Masih bisa menampung. Toh daripada menerima pegawai negeri yang tidak menyebabkan lancarnya pembangunan infrastruktur. Saya akui cara ini cukup cerdas." (*)

[+/-] Selengkapnya...

Kemajuan Negara Seribu Tuhan (1)

Kota Terbesar Keempat Masih Sekelas Makassar
Catatan Dahlan Iskan

Benarkah India (negara yang dikenal memiliki lebih dari 1.000 Tuhan itu) mengalami kemajuan luar biasa sebagaimana Tiongkok (negara yang dikenal tidak memiliki Tuhan sama sekali itu)?

Karena itu, saya sudah agak lama ingin ke India. Tentu, ketika akhirnya saya berangkat ke sana, pekan lalu, pikiran saya sudah penuh dengan cerita sukses dan angka-angka mengagumkan yang belakangan ini sering menghiasi media internasional. Khususnya cerita tentang pertumbuhan ekonominya yang fantastis beberapa tahun terakhir. Yang selalu bisa tumbuh sampai 9 persen per tahun. Juga cerita mengenai pembangunan infrastrukturnya yang dilakukan secara besar-besaran. Termasuk cerita mengenai sukses India sebagai pusat outsourcing dunia.

Dengan gambaran seperti itu, saya membayangkan suasana dan semangat pembangunan di India seperti suasana di Tiongkok. Setidak-tidaknya seperti Tiongkok 15 tahun yang lalu, ketika saya sudah mulai sering ke sana. Saya bayangkan di India sekarang ini banyak sekali dilakukan pembangunan gedung baru yang mencakar langit, jalan tol yang meliuk-liuk, jembatan panjang yang berlapis-lapis, pelabuhan besar yang fantastis, dan bandara modern yang gagah.

Bayangan seperti itu muncul terutama karena saya belum pernah ke India. Saya tidak punya bayangan bagaimana lima atau sepuluh tahun yang lalu. Kecuali gambaran bahwa India sangat miskin, kotor, dan banyak sekali pengemis. Tapi, seberapa miskin sebenarnya saya tidak bisa membayangkan dengan baik. Kecuali bahwa sudah pasti lebih miskin daripada Indonesia yang miskin itu.

Tetapi, setelah lima tahun terakhir saya selalu mendengar dan membaca bahwa India mengalami kemajuan yang luar biasa, saya sangat tergoda untuk menyaksikannya. Seperti Tiongkokkah? Bagaimana bisa? Bukankah Tiongkok maju di samping karena tidak punya Tuhan juga karena tidak ada demokrasi? Sebaliknya, India menganut demokrasi murni dengan Tuhan lebih dari seribu? Bagaimana negara berkembang yang demokratis bisa begitu maju? Tumbuh 9 persen setahun selama beberapa tahun terakhir?

Maka, kali ini saya bertekad untuk ke India. Tidak hanya ke ibu kotanya, tapi juga ke berbagai wilayahnya. Kota besar dan kota kecilnya. Saya ingin membandingkan seberapa gegap gempita pembangunannya, terutama karena saya selalu menyaksikan gegap gempita seperti itu di Tiongkok.

Saya memilih mendarat pertama di Kota Chennai yang dahulu terkenal dengan nama Madras. Ini hanya semata-mata karena saya tidak mau mendarat menjelang tengah malam. Semua penerbangan dari Singapura ke India (ke New Delhi, Mumbai, Calcuta, Kolkata, Bangalore, Ahmedabad, Hyderabad) selalu tiba menjelang tengah malam atau setelah subuh. Itu akan mengganggu ritme hidup saya yang masih perlu dijaga ketat setelah setahun ganti hati.

Begitu mendarat, terutama setelah melihat bandaranya, saya bertanya dalam hati: di mana itu wujud nyata dari terjadinya pertumbuhan ekonomi 9 persen selama lima tahun? Ah, mungkin saja bandaranya memang masih dalam proses perencanaan untuk dibangun yang baru. Maka, saya keliling kota, antara lain dengan menyetir sendiri mobil milik relasi untuk mendapatkan gambaran yang lebih luas. Tapi, saya benar-benar tidak mendapatkan kesan bahwa ekonomi negeri itu tumbuh 9 persen. Melihat Kota Madras dari luarnya, saya memperoleh kesan bahwa kota ini hanya tumbuh kira-kira 5 atau 6 persen. Seperti pertumbuhan ekonomi Indonesia sekarang ini.

Memang ada proyek pembangunan jalan layang atau tol dalam kota, tapi jumlahnya tidak banyak. Sepanjang perjalanan dari bandara ke pusat kota, saya hanya melihat satu proyek jalan layang yang panjangnya sekitar 10 km. Itu pun dikerjakan dengan jumlah pekerja dan peralatan yang tidak menunjukkan suasana sedang dikebut.

Memang ada beberapa gedung baru, namun bukan gedung yang spektakuler. Paling hanya gedung berlantai 12 yang muncul di sana-sini secara sporadis. Di jalan-jalan memang mulai tampak mobil-mobil baru, namun tetap dominan mobil lama. Misalnya Fiat tahun 1970-an.

Tempat rekreasinya (Madras memiliki pantai terpanjang kedua di dunia) juga tidak terurus. Masih juga seperti Pantai Kenjeran Surabaya. Kebun binatang dan taman-taman hiburannya sama saja. Penataan dan perawatannya masih khas kota negara berkembang.

Kondisi itu jauh dari bayangan saya akan Madras. Padahal, Madras bukan kota sembarangan. Pada 1700-an, kota itu sudah amat terkenal sebagai hub perdagangan Timur dan Barat. Yakni ketika Inggris dan Belanda masih rukun. Kerukunan itu diwujudkan dalam bentuk mendirikan perusahaan bersama di seluruh Hindia Raya dengan bidang usaha menguasai sumber rempah-rempah dan tekstil.

Ketika perusahaan baru berumur dua tahun, hubungan Belanda dan Inggris memburuk. Lalu, mereka sepakat pisah. Perusahaan itu dibelah dua. Belanda memilih menguasai Indonesia dengan perdagangan rempah-rempahnya, sedangkan Inggris mendapatkan wilayah India dengan bidang usaha utama tekstilnya. Tetapi, Belanda tetap harus menggunakan Madras sebagai hub pelabuhan rempah-rempah, sedangkan Inggris menggunakan pelabuhan Kolkata untuk hub perdagangan tekstilnya. Jadi, dalam benak saya, Madras pastilah kota besar yang amat penting.

Karena itu, saya seperti kecewa ketika mendarat di Madras tersebut. Meski merupakan kota terbesar ke-4 di India, saya melihat wajah kota itu ternyata hanya seperti Makassar. Tipologinya memang amat mirip Makassar. Di ibu kota Sulsel memang sudah mulai muncul gedung baru seperti Sahid Hotel atau Sedona Hotel atau Graha Pena, tapi masih tenggelam oleh keadaan sekitarnya yang terkesan kumuh.

Bahkan, hotel bintang lima seperti Sheraton Madras, tempat saya menginap, hanya mewah di dalamnya. Tamannya seperti masuk bagian yang harus dihemat anggarannya. Begitulah umumnya taman di Madras, baik taman kota maupun taman perkantoran dan perhotelan. Hanya mirip benar dengan Makassar.

Di Surabaya gedung-gedung baru dengan taman yang rindang sudah kelihatan menonjol meski itu baru di satu-dua kawasan baru. Kadang juga masih kalah kuat dengan kawasan kumuh yang sangat luas di mana-mana: Dupak, Tambaksari, Keputran, dan banyak lagi. Di bagian yang maju dan indah, Surabaya masih menang daripada Madras. Di bagian kumuhnya juga masih menang. Maksud saya, Surabaya masih lebih kumuh.

Sekali lagi, saya tidak tahu bagaimana kota Madras lima atau sepuluh tahun yang lalu. Saya hanya bisa menyimpulkan, kalau keadaan seperti itu dikatakan ekonominya tumbuh 9 persen setahun, pastilah sepuluh tahun yang lalu luar biasa kumuhnya. Tetapi, saya belum mau menarik kesimpulan tergesa-gesa. Itu kan baru Madras. Siapa tahu pertumbuhan ekonomi yang amat tinggi itu bisa terlihat di bagian lain India.

Namun, dari kunjungan ke Madras itu, saya sudah bisa menarik tiga kesimpulan. Pertama, sangat mungkin India akan segera melewati Indonesia. Lantas, begitu berhasil melewati, Indonesia akan dengan cepat meninggalkan jauh Indonesia. Kisah 15 tahun lalu, saat Indonesia mulai ditinggalkan Tiongkok dan kini sudah terlalu jauh di belakang, bisa-bisa terulang. Kali ini oleh India.

Kedua, meski kemajuannya begitu pesat, apa yang terjadi di India tidak sama dengan di Tiongkok. Pada 15 tahun yang lalu pun, gegap gempita pembangunan ekonomi di Tiongkok sudah amat terasa. Bukan hanya di kota-kota utamanya, melainkan sudah sampai ke kota-kota level ketiganya (seperti ibu kota kabupaten). Kini Tiongkok sudah menggebrak kota-kota level kawedanan dan kecamatannya.

Ketiga, ekonomi sudah mulai mengalahkan politik di India. Dampak perubahan orientasi itu amat besar untuk modal pembangunan berikutnya. Yakni mampu menciptakan optimisme warganya secara luar biasa. Rakyat, rupanya, sudah merasakan perubahan dalam kehidupannya. Setidaknya, mereka sudah mulai melihat harapan baru. Sebuah harapan yang muncul oleh adanya perubahan nyata. Bukan oleh sebuah wacana semata.

Semua orang India yang saya temui geleng-geleng kepala mengagumi kemajuan India saat ini. Mereka juga sangat optimistis dalam sepuluh tahun mendatang India akan lebih maju secara luar biasa. "Bisa mengalahkan Tiongkok," ujar seorang manajer perusahaan yang menyertai saya dengan nada berapi-api.

"Sudah pernah ke Tiongkok?" tanya saya.

"Belum," jawabnya. (*)

[+/-] Selengkapnya...

Saturday, August 16, 2008

Andaryoko ''Supriyadi'' yang Bikin Geger Jagat Sejarah (1)


Peluncuran buku Mencari Supriyadi dan munculnya sosok Andaryoko Wisnuprabu yang mengaku sebagai Supriyadi yang hilang lebih dari 60 tahun lalu terus membuat geger. Bahkan, dia juga membuat penuturan berbeda dengan versi resmi tentang sejarah proklamasi yang besok diperingati bangsa Indonesia. PRATONO, Semarang

KALAU apa yang dikatakan Andaryoko Wisnuprabu benar, buku-buku sejarah perjuangan kemerdekaan yang ada sekarang akan mengalami revisi. Tidak hanya tentang sosok pahlawan Supriyadi yang hilang misterius, tapi juga mengenai beberapa detail sejarah proklamasi. Sebab, kesaksian dari pria yang selama hidupnya mengaku dekat dengan Bung Karno itu memang agak berbeda.

Andaryoko yang mengaku sebagai Supriyadi kini bak menjadi ''selebriti'' dadakan. Kakek yang sudah berusia 88 tahun itu laris diundang untuk wawancara ke mana-mana. Rumah pria yang selama ini hidup tenang dengan kegiatan kesenian tradisional Jawa di Jalan Mahesa Raya, kawasan Pedurungan, Semarang, ramai dikunjungi orang. Kemarin, misalnya, delegasi dari Pemkot Blitar berkunjung ke rumah Andaryoko.

Tim yang terdiri atas, antara lain, Kepala Humas Pemkot Blitar Ir Made Suka Wardika dan Kepala Kesbanglinmas Yusuf Efendi itu berniat bertemu dengan Andaryoko. Namun, sayang, Andaryoko tidak ada di rumah karena sedang ada wawancara dengan televisi nasional di Jakarta.

Menurut Made, Pemkot Blitar bermaksud membawa Andaryoko ke Blitar untuk melakukan tes kebenaran dan ingatan terhadap beberapa tempat di Blitar. ''Termasuk untuk bertemu dengan kerabat Supriyadi yang ada di Blitar. Semua biaya akan kami tanggung,'' jelas Made.

Meski Andaryoko tak ada di tempat, Tim Penelusuran -nama delegasi dari Pemkot Blitar- itu diizinkan keluarga untuk masuk ke rumah. Mereka menemukan beberapa bukti tentang Andaryoko alias Supriyadi yang mengaku dekat dengan Bung Karno itu. Di gudang rumah yang cukup besar itu tim menemukan foto ukuran 10R Andaryoko saat berada di Istana Negara bersama Presiden Soekarno.

Made mengakui, temuan itu membuat Pemkot Blitar ingin mengetahui lebih lanjut kebenaran Andaryoko adalah Supriyadi. "Sebelumnya sudah ada sepuluh orang yang mengaku sebagai Supriyadi. Tapi, Pemkot Blitar tak menggubris. Sebab, pengakuan mereka tak disertai bukti-bukti ilmiah dan cenderung berkaitan dengan ilmu kanuragan,'' ungkapnya.

Namun, pengakuan Andaryoko kali ini yang disertai bukti-bukti ilmiah membuat Pemkot Blitar tergerak untuk membuktikan lebih dalam. ''Kedatangan kami karena juga diinstruksikan Wali Kota Blitar Djarot Syaiful Hidayat,'' terangnya.

Temuan lain yang juga menguatkan, kata Made, tak ada motivasi ekonomi dari Andaryoko terhadap pengakuannya. Bahkan, keluarga Andaryoko cukup mapan dan berhasil. ''Melihat kondisi rumah Andaryoko, tampaknya, tidak mengejar sensasi untuk memperoleh materi,'' katanya.

Menurut Made, pola kehidupan yang dianut keluarga Andaryoko -selama ini dikenal sebagai ketua Perkumpulan Kesenian Sobokarti Semarang- penuh dengan kesederhanaan. ''Bahkan, salah seorang putri Andaryoko merupakan duta besar di Oslo, Norwegia,'' katanya.

Duta besar yang disebut Made adalah Retno Lestari Priansari Marsudi. Diplomat cemerlang tempaan Deplu itu menempati posnya di Oslo sejak 2005. Wanita kelahiran Semarang, 27 November 1962, itu adalah lulusan UGM yang melanjutkan pendidikan hukum internasional di Haagse Hogeschool, Den Haag, Belanda.

Meski kemarin gagal bertemu dengan Andaryoko, Tim Penelusuran dari Pemkot Blitar itu tidak putus asa. Dari Semarang, tim tersebut melanjutkan perjalanan ke Jogja. Mereka akan bergabung dalam acara bedah buku Mencari Supriyadi, Kesaksian Pengawal Utama Presiden. Selain menghadirkan penulisnya, Dr Baskara T. Wardaya, acara di Kota Gudeg itu akan menghadirkan "Supriyadi" alias Andaryoko.

Andaryoko dalam wawancara sebelumnya memang terkesan santai menghadapi banyak orang yang meragukan ''kesupriyadiannya''.

''Saya tidak mengurus orang yang tidak percaya. Itu kan hak pribadi orang masing-masing,'' kata Andaryoko.

Dia menjelaskan, apa yang diungkapkannya semata-mata demi kepentingan nasional. Sebagai orang yang mengetahui jalannya sejarah, dia berkewajiban mengungkap kebenarannya. ''Kalau saya tidak membuka (pengakuan), saya berdosa,'' katanya.

Selain tentang sikapnya yang memilih ''menghilang'' selama lebih dari 60 tahun, beberapa hal kontroversial yang diungkapkan ''pemimpin pemberontakan Peta di Blitar itu'' adalah soal detik-detik menjelang proklamasi.

Dalam pelarian (jadi buron bala tentara Jepang) setelah gagal memimpin pemberontakan Peta di Blitar pada Februari 1945, Andaryoko alias Supriyadi mendampingi Bung Karno di Jakarta. Karena itu, dia mengaku tahu proses dideklarasikannya kemerdekaan Indonesia.

Menurut Andaryoko, naskah proklamasi yang legendaris itu tidak dibuat di rumah Laksamana Muda Tadashi Maeda (panglima AL Jepang di Indonesia saat itu), namun di rumah Bung Karno, Jalan Pegangsaan Timur.

Begitu juga pengibar Sang Saka Merah Putih. Beberapa sumber menyebutkan nama berbeda-beda. Di antaranya, ada nama Latief Hendraningrat, Suhud, Singgih, dan Ilyas Karim. ''Yang pakai celana pendek waktu mengibarkan bendera itu saya, Andaryoko atau Supriyadi,'' akunya.

Menurut Andaryoko, saat Bung Karno membacakan Teks Proklamasi 17 Agustus 1945, dirinya masih memakai nama Supriyadi. Namun, saat diangkat Bung Karno menjadi menteri keamanan rakyat dan panglima tertinggi TKR, nama Supriyadi tidak dipakai. Dia mengaku selama beberapa lama menduduki jabatan itu sebelum akhirnya mundur.

Cerita itu berbeda dengan yang tercatat dalam buku sejarah selama ini. Dalam buku disebutkan, setelah Bung Karno menunjuk Supriyadi menjadi menteri keamanan rakyat dan panglima TKR, yang bersangkutan tidak muncul. Dan, sejak saat itu, dia dinyatakan hilang. Bahkan, Supriyadi dikabarkan gugur di tangan pasukan Jepang.

Soal status asal usulnya juga tak kalah kontroversial. Menurut dia, Supriyadi bukan putra Jawa Timur seperti yang dikenal selama ini. Sebab, dia mengaku lahir di Jalan Banyubiru, kampung Sinoman, Kota Salatiga, pada 23 Maret 1920. Ayahnya bernama Pudjo Kusumo yang bertugas sebagai wedana Salatiga dan ibunya bernama Sudjinah. Pada akhir 1943, dia minggat dari Salatiga untuk mendaftar ke Peta (Pembela Tanah Air) bentukan Jepang di Blitar.

Agar tidak dideteksi keluarga di Salatiga, dia mendaftar Peta dengan catatan kelahiran Trenggalek, 13 April 1923 (sengaja dibuat lebih muda). ''Saya mendaftar di Blitar karena orang tua tidak merestui saya menjadi tentara,'' katanya.

Mengenai catatan sejarah yang menyebut Supriyadi anak Bupati Blitar Darmadi, Andaryoko membantah. Menurut dia, bupati Blitar saat itu memang Darmadi. Namun, Darmadi bukanlah keluarganya. ''Saat itu memang Pak Darmadi ingin mengangkat saya sebagai anak,'' katanya.

Pernyataan Andaryoko bahwa Supriyadi bukan anak Darmadi itu mengagetkan keluarga mantan bupati Blitar tersebut. Apalagi, hingga sekarang, pemerintah masih mencatat bahwa ahli waris pahlawan nasional Supriyadi adalah keluarga Darmadi.

"Dia (Supriyadi) itu benar-benar kakak saya," kata Setiyono Darmadi, 73, adik keenam Supriyadi yang tinggal di kawasan Rungkut, Surabaya, saat dihubungi Jawa Pos tadi malam.

Meski belum bertemu langsung dengan Andaryoko serta hanya melihat dari koran dan televisi, kakek yang akrab dipanggil Lilik di keluarga besar Darmadi itu bisa memastikan bahwa Andaryoko bukanlah Supriyadi. "Dilihat dari fisiknya, itu jelas bukan Mas Pri (sebutan Supriyadi)," kata Setiyono.

Menurut dia, sosok kakaknya tidak seperti yang tampak pada Andaryoko. Supriyadi memiliki ciri-ciri daun telinga sedang, mata agak sipit, dan tidak pernah berkumis. "Badannya (Andaryoko) terlihat lebih tinggi dibandingkan Mas Pri," katnya.

Selain itu, lanjut Setiyono, alasan Andaryoko yang tidak mau muncul di publik dengan alasan sembunyi tidak masuk akal. Sebab, bagaimanapun dan siapa pun orangnya, pasti mencari keluarga yang masih hidup. Andaryoko tidak pernah melakukan itu, hanya muncul di media.

Setiyono mengakui, ayahnya menikah dua kali. Dengan istri pertama, dia memiliki dua anak (Supriyadi jadi si sulung). Dengan istri kedua, lahir Setyono dan saudara-saudara yang lain. "Total ada 13 bersaudara. Tiga di antaranya meninggal dunia, termasuk Supriyadi. Sisanya kini masih hidup dan tinggal berpencar di beberapa kota," tuturnya.

Setiyono mengakui tidak sempat berhubungan lama dengan Supriyadi. Dia berpisah dengan sang kakak saat usianya baru 10 tahun. "Terakhir bertemu sebelum pemberontakan Februari 1945," ucapnya sambil mengenang.

Dia mengaku lupa kejadian-kejadian khusus di keluarga saat bersama Supriyadi. Bahkan, tidak ada satu pun barang peninggalan keluarga, seperti foto, yang masih tersisa. "Semua disita tentara Jepang. Rumah kami di Nganjuk diobrak-abrik. Tidak ada yang kami bawa," ujarnya.

Dengan sejarah keluarga seperti itu, Setiyono kaget jika ada "Supriyadi" yang mengaku bukan anggota keluarganya. (Diperkaya laporan Eko Priyono dari Surabaya/el)

[+/-] Selengkapnya...