Saturday, September 20, 2008

Menghormati Orang Tidak Berpuasa di Negara Turki (1)


Azan Maghrib Tiba, Kelab Malam Ikut Buka

Berdiri di atas daratan yang menghubungkan Asia dan Eropa, Turki mampu memelihara tradisi toleransi beragama yang unik. Termasuk saat mengisi Ramadan seperti sekarang ini.

ROHMAN BUDIJANTO, Ankara

TURKI boleh dikatakan paling santai dalam menghadapi Ramadan. Suasana di Ankara tetap sibuk. Tidak ada suasana lesu. Warganya tetap bergegas dalam berjalan di bawah mentari musim panas. Suhu berkisar 33 derajat Celcius di siang hari. Seharusnya cukup panas, tetapi angin sejuk Mediterania meredam panas itu. Meski begitu, tenggorokan gampang mengering, haus bukan kepalang.

Para pebisnis juga tidak terlalu gencar memanfaatkan momentum Ramadan ini. Tidak ada perang diskon di toko-toko. Memang ada satu-dua papan iklan berbau bulan puasa. Seperti di tepi Attaturk Boulevard, jalur nadi ibu kota Turki ini, ada papan iklan yang mengandung tulisan Ramazan, istilah bulan puasa dalam bahasa Turki. Kata-kata selebihnya murni bahasa Turki.

Yang mengherankan, ada salah satu papan iklan Vodafone yang menunjukkan tradisi sungkeman, mirip di Indonesia. Ternyata memang persis. Bedanya, di Turki tangan orang tua dicium, lalu disentuhkan ke dahi si anak. Tradisi itu bertahan di daerah-daerah. Di kota wujudnya berubah jadi salaman saja.

''Saya kalau pulang akan mencium tangan orang tua saya. Meskipun ayah saya tak mau karena lebih suka disalami lalu dipeluk dan cium. Begitulah saya menunjukkan rasa hormat kepada orang tua. Ini khas Timur,'' kata Suat Kiniklioglu, anggota parlemen (milletvekili) dari Provinsi Cankiri, kepada Jawa Pos di kantornya kemarin (18/9).

Meski di ibu kota negara, tidak mudah bagi orang asing mengenali papan-papan komunikasi di Turki. Negara yang getol berupaya menjadi anggota Uni Eropa ini tidak mau repot-repot membuat papan nama bilingual atau multilingual. Di papan-papan komunikasi publik tidak ada penjelasan bahasa Inggris atau bahasa asing lain, kecuali di bandara. Begitu pula warganya; sulit diajak komunikasi bahasa asing. Sopir taksi yang mangkal di bandara, misalnya, hanya mengenali satu bahasa lain selain bahasa Turki, yakni ''bahasa isyarat''. Itu pun tidak ''fasih''.

Padahal, Ankara secara tersirat ingin kosmopolitan. Buktinya, banyak nama tokoh asing yang dijadikan nama jalan. Misalnya, John F. Kennedy, Cinnah (Mohammad Ali Jinnah, pendiri Pakistan), atau Ziaur Rahman (bapak Bangladesh). Nama-nama tempat bangsa asing juga dipakai untuk nama jalan. Contohnya, Iran, Tahran (Teheran), Arjantin (Argentina), Kuveyt (Kuwait), Paris, Filistin (Palestina), dan Rabat. Tapi, orang asing-orang asing bisa tetap tidak at home di ibu kota berpenduduk 4 juta ini.

Kesan ''kosmopolit'' memang kental pada penampilan dan sikap warganya. Kebanyakan warga Turki berpenampilan seperti orang Eropa. Prinsip sekularisme Attaturk yang sudah berakar lebih dari 80 tahun telah membuat orang Turki tidak beda dengan penampilan orang di benua biru itu. Apalagi secara fisik mereka memang "Eropa''. Kecondongan itu ikut mewarnai suasana bulan Ramadan.

Meski 90 persen di antara 70 juta warga Turki musulman (muslim), mereka bebas mengekspresikan dirinya. Kedai dan kafe tetap buka seperti biasa. Ada yang sepi, ada juga yang penuh pelanggan. Tanpa perlu rasa risi, memasang tirai. Kehidupan malam pun tetap jalan. Pub-pub dan night club mulai menyalakan lampu hiasnya yang menggoda di pintu masuk begitu azan Magrib tiba.

Orang dibebaskan memilih ke surga atau ke tempat lain. Itu semua dianggap pilihan hidup masing-masing. Baik yang puasa maupun tidak puasa saling menghormati, setidaknya tidak saling mengusik.

Suasana ini juga tecermin di pesawat penerbangan domestik dari Istanbul ke Ankara pada pagi hari Selasa lalu. Ketika pramugari Turkish Airlines menyajikan sandwich besar, beberapa penumpang menolak, termasuk rombongan warga Turki yang baru pulang dari umrah Ramadan. Mereka mengekspresikan diri sedang puasa. Perempuan berpenampilan modern, tanpa jilbab, di sebelah kanan saya juga menolak, karena puasa. Dia lalu memilih tidur. Di sebelah kiri saya menerima, makan lahap, terus tidur lagi. Suasana ini tidak beda dengan di penerbangan lain.

Tapi, meski sekuler, Turki tetap menunjukkan ciri Islam di fasilitas umum. Misal, di bandara Ankara, ada mescit (masjid dalam bahasa Turki) alias praying room. Tidak ada musala karena meski kecil di Turki tetap disebut mescit.

Ada pula fasilitas kesehatan di bandara, yakni Iikyardim atau First Aid. Turki yang sekuler memilih lambang kesehatan itu dengan bulan sabit (crescent) karena mayoritas muslim, bukan palang (cross) seperti Indonesia. Itu disesuaikan dengan bendera Turki yang juga tetap bulan sabit berbintang (putih) dengan latar merah.

Ciri lain juga ada pada makanan di pesawat yang diberi penjelasan dengan kertas kecil dalam bahasa Turki dan bahasa Inggris, bahwa ''tidak mengandung babi''. Tapi, tetap disajikan wine atau minuman beralkohol, tapi penumpang bisa tidak memilih. Warga Turki sendiri banyak yang mengonsumsi alkohol dan di sana terkenal arak ''nasional'' bernama raki.

Meski negeri itu sekuler, pemimpinnya, Presiden Abdullah Gul dan Perdana Menteri Recep Tayyip Erdogan, dikenal sebagai muslim yang taat. Erdogan adalah lulusan madrasah Imam Hatip. Ketua partai yang memerintah -AKP (Adalet ve Kalkinma Partisi, Partai Keadilan dan Kesejahteraan)- ini tetap terbuka mengekspresikan ketaatannya sebagai muslim. Istrinya berjilbab, juga istri Gul. Partainya yang mayoritas di parlemen juga mengamandemen undang-undang larangan berjilbab di institusi publik. Namun, belakangan amandemen itu dinyatakan melanggar sekularisme oleh Mahkamah Konstitusi. Sanksinya, AKP ditegur dan dana bantuan negara untuk partai itu distop.

Soal Ramadan, PM yang mulai memerintah pada 2003 itu pernah pingsan saat puasa Ramadan. Mantan wali kota Istanbul kelahiran 1954 itu menderita hypoglycernia akibat kerja keras saat puasa Ramadan.

Yang lebih menghebohkan, saat dia dibawa ke rumah sakit, kunci mobil lapis baja tertinggal di dalam mobil yang membawanya itu. Akibatnya, Erdogan terkunci dalam keadaan tak sadarkan diri. Akhirnya, petugas mendapatkan palu dari lokasi proyek tidak jauh dari rumah sakit. Kaca antipeluru pun digodam untuk menyelamatkan sang perdana menteri.

Setelah istirahat beberapa hari, Erdogan pulih hingga kini. Dua hari lalu dia mengundang buka puasa bersama para diplomat asing. Momentum itu digunakannya untuk mengkritik Uni Eropa yang terus mengulur-ulur keanggotaan Turki. Perdana menteri yang ''santri'' itu tetap mewarnai puasanya dengan perjuangan menyejajarkan bangsanya dengan kemajuan Eropa. (el)

No comments: