Sunday, September 21, 2008

Menghormati Orang Tidak Berpuasa di Negara Turki (2)


Tak Ikut Makan Bukan karena Takut Tuhan

Sekulerisme benar-benar dijunjung tinggi oleh warga Turki. Saat Ramadan seperti sekarang, berpuasa atau tidak, menjadi wilayah privat yang tak tersentuh siapa pun.


ROHMAN BUDIJANTO, Ankara

DI negara muslim sekuler ala Turki, ''negara'' benar-benar tidak puasa. Ketika pertemuan antara delegasi Indonesia dan Turki, suasana itu kentara. Pertemuan di gedung kementerian kehakiman di Attaturk Boulevard, pusat Ankara (18/9), itu berlangsung seperti hari-hari biasa. Di luar ruangan, disediakan meja snack dan kopi. Banyak wartawan dan pejabat Turki yang menikmati sajian itu.

Sekitar 30 delegasi Indonesia, yang dipimpin Menteri Perdagangan Marie Pangestu, tak terlihat ikut makan-makan di sana. Karena terbiasa dengan suasana Ramadan di Indonesia, rupanya, mereka pilih menahan diri. Tak nyaman rasanya makan-makan saat Ramadan. Lagipula, pejabat-pejabat Indonesia memang banyak yang terus berpuasa meski musafir.

Suasana itu terbawa saat undangan dinner yang ditepatkan dengan saat buka puasa pada sore harinya. Acara buka puasa itu berlangsung di restoran elite Ciragan, di pinggiran Ankara, yang ruangannya sangat penuh. Ruangan seluas lapangan tenis itu terisi beberapa meja besar, kebanyakan kelompok pelanggan umum. Ratusan orang buka puasa di ruangan yang diwarnai live music ''gambus'' Turki yang merintih mendayu-dayu.

Acara undangan dari Menteri Kehakiman Mehmet Ali Sahin itu berlangsung di meja besar untuk 30 orang. Suasana sebenarnya kurang privat untuk acara kenegaraan seperti itu. Ruangan acara pejabat tinggi itu tidak disekat dari meja-meja lain. Pejabat tak bisa minta keistimewaan berlebihan. Karena itu, suara di ruangan mirip dengung dari koloni lebah diiringi denting gelas dan alat makan.

Ketika azan berkumandang, disajikanlah makanan. Mulai porsi besar salad, aneka menu daging sapi dan kambing, roti, hingga makanan penutup berupa kue-kue basah yang sangat manis. Terlihat delegasi Indonesia tidak banyak yang bisa menghabiskan makanan sebanyak itu.

Yang membedakan, tak ada acara salat Magrib. Acara ngobrol-ngobrol jalan terus. Sejam kemudian acara ditutup dengan pidato singkat kedua menteri. Penerjemah sampai teriak-teriak untuk mengatasi suara riuh di ruangan. Begitulah, acara buka puasa itu benar-benar diisi dengan makan-makan saja, tidak ''dicampur'' acara salat Magrib seperti lazimnya undangan buka puasa bersama di Indonesia.

Tapi, acara buka puasa bersama yang mirip di Indonesia juga ada. Kalau penyelenggaranya pejabat yang ''santri'', pasti acaranya diselingi salat Magrib setelah makan minum ringan untuk ''resmi'' mengakhiri puasa. Pejabat Indonesia pernah diundang ke acara semacam itu di markas AK Parti (Partai Keadilan dan Pembangunan). Undangan datang dari Recep (Rajab) Tayip Erdogan. Ketua partai itu sekaligus sekarang PM Turki. Pimpinan lainnya, Abdullah Gul, kini presiden.

Begitu magrib, undangan diajak minum dan makan ''takjil''. Lalu, Erdogan turun ke lantai bawah tanah kantor partai berlantai delapan plus empat di bawah tanah itu. Di sana ada mescit (masjid), yang kalau di Indonesia musala, berukuran sekitar 10 x 6 meter. Tokoh yang pernah sekolah madrasah (imam hatip) di masa kecil itu lalu mengimami salat. Banyak undangan yang makmum. Setelah salat, mereka naik lagi ke ruang pertemuan untuk makan besar dan melanjutkan obrolan.

Begitu pula acara AK Parti untuk kaum tak berpunya di jalan-jalan. Biasanya tenda-tenda buka puasa dilengkapi karpet untuk salat Magrib. Partai itu memang punya citra paling dekat dengan rakyat sehari-hari sehingga berhasil memenangi suara mayoritas 45 persen, mengalahkan partai-partai yang lebih sekuler.

Kebangkitan AKP itu secara perlahan sebenarnya juga membuat kehidupan kaum muslim di Turki lebih berani mengekspresikan diri. Menurut informasi dari seorang pegawai Turki yang banyak bergaul dengan pejabat, musala kecil di kantor-kantor mulai muncul. ''Asal ada cukup banyak orang yang memanfaatkannya, bisa dibuat ruang kecil menjadi mescit. Kalau satu dua orang, nggak bisa,'' katanya.

Ketika negara sejak merdeka 1923 sangat menjaga hak-hak sekuler, kini pejabat tinggi lebih peka kepada orang puasa. Mereka memang tak bisa menghilangkan snack dari acara resmi. Tapi, kalaupun ada menteri yang tak puasa, dia tak ikut makan di hadapan umum. Bukan takut kepada Tuhan. ''(Tapi) takut kamera televisi,'' kata seorang warga asing yang lama tinggal di Turki. Rasanya memang sungkan, kalau PM dan presidennya ''santri'' dan puasa, menterinya terlihat makan di televisi.

Yang sulit tertembus adalah sekolah. Pada hari Jumat, jadwal sekolah tak dihentikan ketika waktu salat Jumat tiba, kecuali di madrasah. Karena itu, kata warga Turki yang taat beragama tadi, seorang murid kadang harus lari dari sekolah untuk menunaikan kewajiban salat Jumat.

Interpretasi ajaran Attaturk tentang sekularisme di Turki memang kadang-kadang kurang luwes. Kasus mutakhir adalah polemik upaya menghapuskan larangan berjilbab di kantor-kantor pemerintah, termasuk universitas negeri. Pemerintahan Gul kini juga dipersoalkan lagi oleh kaum oposan karena mengangkat rektor-rektor universitas yang lebih ''santri''.

Meski pemerintah di Turki sangat legitimated karena dipilih rakyat, mereka bisa kalah kuat dari penjaga sekularisme. Militer Turki diberi ''dwifungsi''. Selain sebagai alat negara, militer punya semacam hak veto menjaga garis nasionalisme sekuler dan stabilitas. Tiga kali militer Turki kudeta. Yang terakhir, pada 1981, kudeta karena tidak muncul pemerintahan kuat dari pemilu.

Dominasi militer Turki itu sangat kentara di pusat Ankara. Di Attaturk Boulevard, sekitar empat kilometer di kiri dan kanan jalan didominasi markas militer. Baik mabes AD, AL, maupun AU. Papan militer itu, tampaknya, menjadi satu-satunya papan pengumuman yang bisa dipahami orang asing di pusat Ankara adalah papan peringatan markas militer. Ada bahasa Turki dan bahasa Inggris di papan-papan yang berwarna merah bertulisan hitam dan bergambar tentara menenteng senjata tersebut. Tulisannya: Daerah markas militer, dilarang masuk.

Papan berukuran sebesar koran itu dipasang di pagar markas. Pagar setinggi 3 meter itu berupa teralis dengan jarak 5 cm dari batang-batang baja berukuran jari tangan. Kadang tak bisa diintip suasana di markas militer itu karena dilapisi penutup fiberglass.

Yang mencolok lagi, gambar-gambar Attaturk dan bendera Turki dalam ukuran raksasa digantung di gedung-gedung tinggi markas militer itu. Kadang-kadang muka gedung seukuran Graha Pena, Surabaya, itu tertutup dari atas hingga bawah dengan bendera Turki dan wajah Attaturk.

Gambar Attaturk berpenampilan Eropa juga dipasang di dalam kantor-kantor, termasuk kantor partai. Intensitas kemunculan gambar Attaturk itu tak ada bandingannya di Turki. Jauh melebihi intensitas pemasangan gambar Garuda Pancasila di Indonesia.

Militer Turki memang sangat menjaga pemisahan antara negara dan ''masjid''. Dan, suasana itu tecermin di kompleks besar markas militer tak tampak mencuat sebatang pun menara masjid.

Institusi kedua yang menjaga sekularisme adalah mahkamah konstitusi (MK). Konstitusi Turki memang menjadi dokumen dasar sekularisme. Mahkamah itu pernah membubarkan partai cikal bakal AK Parti, yakni Partai Refah, karena dianggap mempromosikan tercampurnya negara dan agama.

Tapi, ternyata partai itu makin besar ketika mengadaptasikan diri dengan wajah garang mahkamah konstitusi. Hasilnya, dari partai kecil, kini berubah menjadi partai penguasa. AK Parti bersikap realistis. Prinsipnya lebih baik tetap hidup dan berbuat untuk kemaslahatan rakyat daripada mati meskipun gagah.

Ternyata membesarnya partai ''santri'' itu ikut membuat institusi penjaga sekularisme juga lebih luwes. Dalam kasus AK Parti diadili karena mendorong amandemen larangan jilbab itu, keputusannya mencerminan garis moderat mahkamah konstitusi. Kalau dulu main hapus partai dan mem-black list para pengurusnya, keputusan soal itu berupa teguran dan penghentian bantuan negara untuk AK Parti. Keputusan tersebut diambil dengan hakim-hakim MK dengan selisih tipis, 7:6. Di antara 13 hakim MK, hanya dua yang diyakini dekat dengan AK Parti.

Seorang ahli hukum menyebutkan, keputusan itu membuatkan kanal bagi arus dukungan kepada AK Parti yang besar, sembari mengatasi luberan aspirasi yang ''terlalu agama''. Bukan membuat bendungan yang kalau jebol jauh berisiko bagi stabilitas Turki dan kepercayaan internasional.

Apalagi, rakyat merasa saat ini baik-baik saja karena ekonomi sedang bergairah. Saat ini pendapatan per kapitanya USD 12.888 atau lebih dari Rp 120 juta per tahun. Jadi, pendapatan warga Turki rata-rata Rp 10 juta per bulan. Tak ada tandingannya dengan delapan negara yang berbatasan dengan Turki.

Begitulah. Sekularisme Turki juga beradaptasi. Militer juga tak komentar negatif atas putusan terbaru mahkamah konstitusi itu. Kini militer lebih sibuk mengatasi perlawanan kaum Kurdi di perbatasan dengan Iraq dan sesekali mengisyaratkan agar pemerintah lebih galak.

Sekularisme dan semangat beragama di Turki terus interplay, beraksi dan bereaksi dengan lebih kalem. Tapi, kaum sekularis dan kaum yang lebih religius kini sedang bersama-sama konsentrasi menghadap ke satu fokus, yakni keanggotaan Uni Eropa. Itu kehamilan sangat lama yang dengan sabar ditunggu kelahirannya oleh bangsa yang menjadi pintu peradaban Timur dan Barat itu. (Bersambung)

No comments: